Senin, 02 Maret 2009

PERJANJIAN HUDAIBIYAH (STRATEGI POLITIK SPEKTAKULER)

PERJANJIAN HUDAIBIYAH
(STRATEGI POLITIK SPEKTAKULER)
Oleh : Zainul Musthafa RS


I
Pra – Wacana

Michael H. Hart meletakkan nama Muhammad pada rengking pertama dari seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Alasan pemilihan tersebut didasarkan karena kesaksesan Muhammad yang luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi,[1] yang dicapai dalam kurun waktu kurang lebih 13 tahun. Dalam kehidupan yang keras itu Muhammad kemudian mampu merobah tradisi ritual (peribadatan) masyarakat setempat yang asalnya paganis dirobah dengan tradisi keislaman yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan tunggal (monotheisme).
Disamping memperolih keberhasilan dalam bidang agama, Muhammad juga mampu merombak tatanan kehidupan masyarakat yang sangat fanatik suku (humanisme suku) sesuai dengan watak dan karakteristik masyarakat Arab, dirobah menjadi fanatik agama atau ikatan emosional antar pemeluk islam.
Oleh karena itu kesaksesan Muhammad ini tidak bisa dipandang sebelah mata dengan mengatakan : Wah wajar, Muhammad kan selalu mendapat bimbingan dari Tuhan. Seakan-akan semua yang dihasilkan Muhammad itu merupakan karunia Tuhan, sehingga seakan-akan Muhammad tidak punya kreasi dan strategi dalam pengembangan agama maupun menata kehidupan masyarakat.
Memang kita mengakui apapun yang terjadi dialam ini merupakan grend design dari Tuhan, tetapi anggapan ini kemudian tidak boleh mematikan karunia Tuhan itu sendiri yang menciptakan manusia dengan kemampuan meng-indera (empiris), meng-analisis (rasional) terhadap apapun yang ada disekelilingnya, yang ini menjadi embrio munculnya ilmu pengetahuan pada diri manusia.
Dengan demikian, terkait dengan perjanjian Hudaibiyah maka kiprah Muhammad (sebagai manusia yang dikaruniai kecerdasan) sangat nampak sekali ketika mengadakan deplomasi dengan orang-orang Quraisy yang meskipun tidak disetujui oleh banyak sahabat karena dianggap kurang menguntungkan tetapi bagi Muhammad tidak sehingga ia tetap kokoh pada pendiriannya. Dan ini terbukti setelah perjanjian ini berjalan maka keuntungan-keuntungan yang diperulih umat Islam sangat banyak. Ini merupakan srategi politik spektakuler Muhammad.

II
BACKGROUND SEJARAH

Pada tahun 6 H Nabi Muhammad bersama kira-kira 1000 sampai 1400 orang sahabat berangkat melakukan ibadah haji ke Makah. Sebagai tindakan pencegahan, kalau tujuan mereka disalah pahami oleh kaum Quraisy, kaum Muslimin dilarang keras membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri dari 70 ekor unta, juga mengenakan pakian ihram.[2] Cara ini akan menghilangkan kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan meyakinkan mereka akan maksud damai umat Islam. Dan memang sudah men-tradisi dikalangan Arab siapa saja yang melakukan peribadatan di al-Masjid al-Haram pada bulan-bulan suci, maka terjamin keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman :

يسئلونك عن الشهر الحرام قتال فيه قل قتال فيه كبير وصد عن سبيل الله وكفر به والمسجد الحرام واحراج اهله منه اكبر عند الله

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci; bolehkan berperang ? Katakanlah: Berperang pada bulan suci itu suatu dosa besar. Tetapi merinangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepada-Nya, merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu lebih besar lagi dosanya sisisi Allah”.

Ketika hampir sampai di kota Makah mereka melihat kaum Quraisy bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata. Buda’il kepala suku Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik terhadap Islam. Dia membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya mengirimkannya kembali untuk melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam datang untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum Quraisy juga diiusulkan agar menerima perdamaian dengan mereka selama masa tertentu. Karena telah mengirim pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti di Hudaibiyah.[3]
Perundingan terus dilakukan kedua belah pihak tetapi selalu tidak menemukan titik temu, sehingga pada ahirnya Nabi memilih Uthman bin Affan sebagai alternatif terahir untuk melakukan deplomasi. Dipilihnya Uthman oleh Nabi desebabkan dia adalah salah satu sahabat yang barasal dari suku Quraisy seperti suku yang berkuasa di Makah saat itu, sehingga diharapkan memperulih kemudahan-kemudahan didalam perundingan dan tidak dikhawatirkan terjadi penyiksaan.
Diplomasi yang dilakukan oleh Uthman dengan pihak Quraisy cukup alot sehingga memakan waktu yang cukup lama. Ketidak hadiran Uthman ditengah-tengah kaum Muslimin menimbulkan kecurigaan dikalangan umat Islam. Bahkan ada yang sampai menduga bahwa Uthman telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Akibatnya umat Islam panik pikirannya kacau tidak menentu. Disinilah peran Nabi muncul dengan memberi ketenangan kepada mereka sehingga diadakan ikrar kesetiaan (bai’ah) bahwa mereka akan berperang habis-habisan dalam mempertaruhkan agama mereka. Dibawah sebuah pohon tidak jauh dari Nabi, ikrar itu dicapkan dengan gembira. Didalam sejarah ikrar ini terkenal dengan Bai’ah al-Ridhwan.[4] Untuk itulah maka firman Allah turun :

لقد رضى الله على المؤمنين اذ يبايعونك تحت الشجرة فعلم ما فى قلوبهم فانزل السكينة عليهم واثابهم فتحا قريبا

“Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu dibawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu diturunkan-Nya kepada mereka rasa ketenagan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat in”.

Tekat umat Islam untuk mengorbankan jiwa mereka dalam mempertahan kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi sadar. Pengalaman mereka yang telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang mereka dapat menyadari apa arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka menugaskan Suhel Ibn Amar untuk melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan senjata disetujui dengan memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam jangka waktu 10 tahun. Pasal-pasal pokok perjanjian itu adalah sebagai berikut : [5]

1. Nabi Muhammad dan kaum-Nya pada tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun depan mereka boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh lebih dari tiga hari.
2. Kedua belah pihak tidak saling menyerang (mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh) tahun.
3. Siapa saja dari pihak Quraisy yang berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka diperkenankan. Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak Quraisy maka dianggap bagian dari mereka.
4. Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan.

Syarat-syarat itu tentu sangat tidak menyenangkan umat Islam, tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi, mereka tetap diam. Kemurahan dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui perjanjian ini menyebabkan sedikit rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan meramalkan hasil ahir yang baik dari perjanjian itu.
Dengan hasil kesepakan seperti ini, maka kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan harapan akan kembali ke Makah pada tahun depan. Sebagian besar dari mereka pulang dengan parasaan barat hati. Kalau tidak karena perintah Nabi, mereka tidak akan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa berperang.[6]
Dalam perjalanan menuju Madinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi yaitu surat al-Fath, Surat ini kemudian dibacakan Nabi kepada para sahabat-sahabat-Nya :

انا فتحنا لك فتحا مبينا ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر ويتم نعمته عليك ويهديك صراطا مستقيما
“Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karunia-Nya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus”

Analisa Penulis
III
PERJANJIAN HUDAIBIYAH, STATEGI POLITIK SPEKTAKULER

Banyak tindakan-tindakan Muhammad yang hanya bisa dijelaskan jika kita memahami peran ganda beliau sebagai pemimpin negara yang baru berdiri serta pembawa misis agama. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara, ia harus bertindak tegas demi kepentingan negara yang ia dirikan. Muhammad mengizinkan umatnya melakukan tipu daya jika diperlukan untuk mengalahkan musuh Islam.[7]
Dalam kasus perjanjian Hudaibiyah, Muhammad menampakkan dirinya sebagai seorang negarawan yang sangat berbakat dan piawai sekaligus juga seorang juru dakwah agama yang bisa melihat kedepan. Ia bukan seorang idealis yang tinggal di menara gading (ivory tower). Muhammad dapat menangani situasi-situasi yang sulit dengan kemampuannya yang luar biasa serta kepiawian politiknya, meskipun untuk menunda sementara waktu beberapa ajaran Islam atau menyesuaikan dengan tujuan politik.
Dalam perjanjaan Hudaibiyah yang terkenal itu, Muhammad meminta sekretasinya Ali untuk menuliskan kata Rasulullah dibelakan namanya, orang-orang Mekah keberatan dengan hal itu karena mereka belum siap menerimanya sehingga harus di hapus. Ali keberatan untuk menghapusnya sehingga Rasulullah sendiri yang menghapusnya.[8] Sebagai seorang negarawan ia tahu betul bahwa kata-kata itu tidak akan terlalu berpengaruh. Yang penting adalah tercapainya negisasi yang akan memberinya ruang gerak untuk mengkonsolidasikan kedudukannya. Untuk mencapai hal itu, Nabi bahkan bersedia menerima perdamaian yang kurang menguntungkan baginya. Kaum muslimin pada waktu itu hanyalah kekuatan yang baru muncul sehingga dalam keadaan yang kurang menguntungkan itu tidak salah menerima perjanjian tersebut. Inilah salah satu kepiawian Muhammad yang membuatnya menjadi orang kuat. Bahkan para sejarawan Muslim pun mencoba membedakan antara perilaku Muhammad sebagai negarawan dan Nabi.
Meski pada awalnya banyak sahabat yang menyangsikan isi dari perjanjian Hudaibiyah, yang di anggap kekelahan umat islam ketika mengadakan deplomasi dengan utusan orang-orang Quraisy karena dianggap ada beberapa isi perjanjian yang justru menguntungkan orang-orang Quraisy. Bahkan sahabat Ali sempat memboikot untuk tidak menuruti apa yang diperintah Rasul yang menyuruh untuk mengapus tambahan Rasulullah dibelakang nama Muhammad sebagaimana yang kehendaki Suhail (utusan orang-orang Quraisy.
Sebenarnya apa yang dilakukan Muhammad merupakan hasil politik yang sangat bijaksana yang mempunyai pandangan yang jauh kedepan, sangat menguntungkan bagi perkembangan umat Islam. Dengan adanya perjanjian tersebut maka itu merupakan pertama kali Muhammad diakui sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kedudukan sama dengan pimpinan-pimpinan Arab lainnya dan tanpa sadar mereka juga mengakui berdirinya dan adanya kedaulatan Islam.
Demikian juga dengan dibolehkannya umat Islam melakukan ibadah haji, merupakan suatu pengakuan dari mereka bahwa Islam adalah agama yang sah diakui diantara agama-agama di jazirah Arab.
Berkat perjanjian Hudaibiyan ini, maka pada tahun yang telah ditentukan (satu tahun kemudian), obsesi umat Islam menjadi kenyataan. Di Makah banyak orang yang membuka pintu hatinya untuk menerima ajakan orang-orang Islam betapapun kondisi mereka dalam pengawasan pemerintah Quraisy.[9]
Masuknya Muhammad ke Makah merupakan langkah yang mempunyai makna stategis bagi terjalinnya hubungan Muhammad dengan berbagai suku. Ibadah haji kali ini telah membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk mengadakan dialog dengan mayoritas warga Makah dan warga suku-suku yang lain dengan melancarkan dakwah kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Semua itu dapat dilakukan dengan mulus tanpa ancaman yang berarti, bahkan sekalipun dari pihak-pihak yang tidak mau menerima ajakan Muhammad. Tak ada lagi keberanian melakukan ancaman terhadap orang-orang Islam secara terang-terangan dan biadab sebagaimana masa-masa yang silam.
Demikian halnya dengan adanya gencatan senjata, maka Muhammad dengan leluasa menjalin komusikasi dengan penguasa-penguasa diluar zarirah Arab. Muhammad menulis surat yang dikirim kepada raja-raja dan penguasa diluar semenanjung Arab yang isinya berupa ajakan untuk bergabung dalam satu ajaran.
Muhammad mengutus kurir yang ditugaskan untuk menyampaikan suratnya pada Heraklius, Kisra, Muqauqis, Najasyi (Negus) di Abisinia, kapada Haristh al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra di Yaman.[10] Demikian juga surat dikirim kepada penguasa Bashra di Siria. Isi surat itu adalah ajakan untuk memeluk agama Islam.[11] Muhammad mengetahui daerah Basrah pada masa Ramawi selalu mengalami perderitaan. Dan secara khusus Muhammad menggugah keadilan dan melepaskan manusia dari kesewenang-wenangan yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Disamping strategi sebagaimana diatas. Ada satu cara yang dilakukan Muhammad untuk perluasan Islam adalah dengan cara poligami. Tercatat ada beberapa nama wanita yang dikawini Nabi yang tujuannya adalah perluasan agama Islam semisal Khadijah, Ummu Habibah, Maimunah, Mariyatul Qibthiyah,dll. Ini sekaligus menepis tuduhan Barat yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang yang Hipper Sex, mempunyai nafsu besar, gemar kawin untuk melampiaskan nafsu biologisnya.[12]

IV
Purna – Wacana

Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan umat Islam dalam melakukan deplomasi dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam pendiriannya karena baginya memenangan yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian. Kemenangan yang sebenarnya adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad merupakan pemimpin yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Maka terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu tahun disaat umat Islam diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari ritual itu sangat terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat Islam diberi wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili mereka yang masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini disaksikan oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini adalah kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat al-Fath. Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.


Demikian, semoga bermanfaat.

BIBLIOGRAPHI




Angineer, Asghar Ali, The Origin and Development of Islam, Ter. Imam Baihaqi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Hart, Michael H. The 100, a ranking of the most influential persons in history, New York: Publishing Company, 1978.

Haikal, Muhammad Husayn, Hayat Muhammad, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935.

Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Salim, Abd al-Aziz, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah, Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986.

al-Sharqawi, Abdurrahman, Muhammad Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas Siraj Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Yasin, Khalil, Muhammad di mata cendekiawan barat, Terj. H. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1990.
[1] Michael H. Hart, The 100, a ranking of the most influential persons in history (New York: Publishing Company, 1978), 27.
[2] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374.
[3] Hudaibiyah merupakan sebuah tempat yang berada dilintasan jalan dari Jedah ke Makah yang berada diluar tanah haram. Tempat tersebut diperkirakan perjalanan satu hari dari Makah (saat itu). Ditempat inilah Nabi Muhammad berhenti dan menanti penyeleseian ketika terjadi penolakan oleh penduduk Arab atas pelaksanaan ibadah haji Nabi. (Lihat Ensilkopedi Islam, 137).
[4] Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 140.
[5] Abd al-Aziz Salim, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986), 126.
[6] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad, 383.
[7] Asghar Ali Angineer, The Origin and Development of Islam, Ter. Imam Baihaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 170.
[8] Informasi ini juga dapat dipakai dasar untuk mementahkan anggapan ilmuan-ilmuan saat ini yang mengatakan bahwa Muhammad itu adalah seorang yang Ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Ini terbukti dengan perbuatan beliau yang menghapus Rasulullah dibelakang nama beliau ketika Ali keberatan menghapusnya.
[9] Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas Siraj (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 329.
[10] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad, 387.
[11] Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad Rasul al-Huriyyah, 929.
[12] Khalil Yasin, Muhammad di mata cendekiawan barat, Terj. H. Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), 34.

4 komentar: