Senin, 02 Maret 2009

MENGGUGAH KESADARAN DEMOKRASI DALAM DUNIA PESANTREN

MENGGUGAH KESADARAN DEMOKRASI
DALAM DUNIA PESANTREN

Oleh : R. Zainul Musthofa


A. Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama dengan sistem asrama yang pada umumnya bersifat tradisional dan terdapat dipedesaan. Lembaga pendidikan ini merupakan salah satu dari sekian banyak model pendidikan yang mencerminkan keaslian model pendidikan di Indonesia (Indigenous).[1]
Sebagai lembaga sosial tradisional, pondok pesantren memiliki pengaruh yang luas dan mengakar pada masyarakat sekitarnya. Oleh karena pondok pesantren dinilai sebagai lembaga yang hidup dari dan didukung oleh anggota masyarakat, baik dari daerah di sekitar pondok sendiri maupun dari daerah lain (karena santri suatu pondok pesantren umumnya sebagian berasal dari daerah lain). Dengan kondisi ketradisionalan ini ahirnya banyak sejarawan, pengamat keislaman banyak yang mempertanyakan : Mengapa pesantren sampai saat ini tetap survive padahal sudah dihadapkan dengan berbagai bentuk menegemen pendidikan yang lebih modern.[2]
Pondok pesantren merupakan miniatur dari gambaran komunitas masyarakat sesungguhnya. Dalam lembaga ini banyak ditemukan berbagai model interaksi sosial yang terbentuk. Proses interaksi yang terbentuk di dalam lembaga ini selanjutnya menentukan bagaimana model masyarakat pesantren itu tercipta.
Suatu hal yang sering terlihat, adalah kesan bahwa pesantren terlahir sebagai lembaga pendidikan yang mewarisi sistem tradisional jawa, yakni bentuk-bentuk feodalisme yang otoriter. Pondok pesantren tak ubahnya seperti sebuah kerajaan kecil dengan Kyai sebagai rajanya. Gejala sosial ini semakin nampak jelas bilamana kita mencermati interaksi sosial yang terjalin antara Kyai dan Santri.
Sementara itu, slogan-slogan tentang demokrasi telah banyak kita dengar, dan bahkan arusnya pun terasa meresapi cakrawala pemikiran bangsa, termasuk dalam dunia pesantren. Namun, pengertian demokrasi Islami berbeda dengan demokrasi yang berarti kedaulatan adalah ditangan rakyat. Pengertian demokrasi yang penulis maksud dalam makalah ini adalah demokrasi yang didasarkan pada sendi-sendi agama Islam, yang hanya mengakui bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan. Suatu gambaran ideal tentang demokrasi Islam dapat dilihat dari sistem sosial yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Akan tetapi, keinginan untuk membentuk masyarakat demokrasi dalam dunia pesantren ini menemukan banyak kendala karena diterapkan dalam sistem sosial tradisional yang banyak berkembang dilingkungan pesantren. Oleh karena itu diperlukan suatu rekonstruksi terhadap persepsi yang berkembang mengenai pondok pesantren dan sistem sosialnya.
B. Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren, agaknya diangkat dari kata Santri yang berarti murid, atau mungkin Shastri yang berarti huruf. Sebab, di dalam pesantren inilah mula-mula santri belajar mengenal dan membaca huruf. Adapun istilah Pondok, mungkin diambil dari kata Funduk, yang berarti penginapan atau hotel.
Ditinjau dari makna terminologinya, maka ada beberapa pendapat berkenaan dengan Pondok pesantren :
a. Menurut Zamakhsyarie Dhofier , Pondok Pesantren diartikan :
Sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar dibawa bimbingan seorang guru (atau lebih) yang dikenal sebagai Kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan pesantren dimana Kyai yang bertempat juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan-kegiatan lain.[3]
b. Sudjoko Prasodjo berpendapat :
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal dimana seorang Kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santrinya berdasar kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal didalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”[4].
c. H.M. Arifin berpendapat :
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) dimana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian dan madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik secara independen.[5]
Dari berbagai macam pengertian diatas, dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) elemen dasar yang membentuk sebuah pondok pesantren, yaitu : Pertama, adanya Kyai; Kedua, adanya murid atau santri; ketiga, adanya pondokan sebagai asrama tempat tinggal, serta pemberian pengajian kitab-kitab arab klasik abad pertengahan.
C. Status Sosial Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali, bahkan merupakan pendirinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemampuan Kyai dianggap sangat berpengaruh bagi pertumbuhan pesantren.
Kyai telah menempatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Ia dengan kelebihan pengetahuannya tentang Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, sehingga dengan demikian, mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan masyarakat awam. Dalam beberapa hal mereka menunjukkan kekhususannya dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman, yaitu kopiah dan serban.[6]
Para Kyai juga dianggap memiliki kontrol terhadap sistem kehidupan sosial masyarakat Jawa, tidak hanya dalam kehidupan beragama, tetapi juga dalam soal-soal politik. Bahkan, kebanyakan Kyai di Jawa memiliki anggapan bahwa pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil dimana Kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak ada seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan Kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali Kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.
D. Dasar Interaksi Sosial antara Kyai - Santri
Santri sebagai seorang musyafir pencari ilmu menganggap Kyai sebagai guru yang harus dipatuhi. Terkadang, karena hidup dan tinggal diasrama berdekatan dengan Kyainya, mereka pun menganggap seolah-olah bapaknya sendiri. Sebaliknya, Kyai menganggap santrinya sebagai amanat Tuhan yang harus di lindungi. Terlepas dari hubungan batiniah tersebut, dalam kebanyakan pesantren yang bercorak dan atau ber-paham tradisional, masih berkembang anggapan pesantren tak ubahnya kerajaan kecil dengan Kyai sebagai raja. Asumsi ini dapat dikembalikan pada sistem kepercayaan yang berkembang dalam tradisi Jawa dimana raja atau penguasa dianggap sebagai simbol dari kekuatan kosmis. Mereka adalah wakil Tuhan di dunia yang memiliki wewenang dan kuasa mutlak. Pemahaman interaksi sosial semacam ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa mereka harus patuh dan tunduk secara penuh terhadap apapun perintah dan larangan dari Kyai. Mereka takut kuwalat bilamana tak taat, selain itu mereka berusaha untuk menyenangkan hati Kyainya agar mendapat berkah.
Bahkan, menyinggung hubungan antara guru dan murid, dalam Wulangreh (Paku Buwana IV, 1982, 72-73) disebutkan :
“Guru wajib dihormati bahkan disembah. Karena gurulah yang menunjukkan hidup yang sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan, dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah paling berat. Maka, baiklah, mohonkanlah siang-malm akan cinta kasihnya. Janganlah cinta kasihnya sampai berkurang.”[7]

E. Masyarakat Islami dan Sistem Sosialnya
Masyarakat dapat di definisikan sebagai sekelompok individu yang hidupnya saling berhubungan. Mereka punya keinginan dan kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuannya. Masyarakat, sebagaimana ditulis dalam Our Philosopy, dapat terbentuk secara kebetulan (accidental) terkadang pula secara sengaja (intensional). Masyarakat accidental biasanya tidak bertahan lama karena kerjasama yang terjalin antar individu bersifat amat dangkal, parsial, dan waktunya pun singkat. Bebeda dengan masyarakat intensional yang didasari adanya tujuan bersama yang hendak dicapai dimana mereka melakukan kerjasama dan hubungan timbal-balik antar anggota, melakukan pemilihan keanggotaan, bersadarkan prinsip-prinsip dan aturan tertentu yang diterima oleh setiap anggota secara sadar dan penuh pertimbangan. Cara berfikir dan bekerja seorang anggota dapat mempengaruhi nasib anggota lainnya. Mereka pun menetapkan kriteria dan aturan-aturan tertentu menurut keanggotaannya. Model masyarakat semacam ini dapat ditemui dalam institusi sosial, keuangan, politik atau pendidikan.[8]
Islam, sebagai agama universal, meletakkan segala sesuatu bersumber pada Tuhan. Doktrin Islam tentang sumber tertinggi adalah Tuhan dapat ditemui dalam beberapa ayat Allah:”Bagi Allah kerajaan lelangit dan bumi dan Allah amat berkuasa atas segala sesuatu.”(Q.S.3:189), “Baginya kerajaan Lelangit dan bumi dan kepada Allahlah dikembalikan perkara-perkara.”(Q.S.45:7;57:5).
Ekspresi kehendak Tuhan terdapat dalam al-Qur’an, Nabi, para penggantinya dan kepala-kepala politik tidak mempunyai kekuasaan kecuali dengan delegasi (pelimpahan). Karena hukum itu diterapkan bagi semua, tiap mukmin adalah wakil Tuhan dimuka bumi. Mereka yang diberi kekuasaan (Q.S. 4:59), baik kekuasaan spiritual ataupun keduniawian tidak mempunyai kekuasaan mutlak. Mereka hanya bertugas mengatur umat untuk melaksanakan ketentuan hukum. Mereka tidak berhak untuk mengakui “tidak bisa salah” dalam menafsirkan petunjuk-petunjuk Tuhan. Karena hak penafsiran berada dalam konsensus (ijma’) masyarakat dengan tidak akan menuntut suatu kekuasaan duniawi yang tak terbatas.[9]
Masyarakat dalam doktrin Islam, tergabung dalam suatu kebersamaan yang bersatu atas dasar politik dan agama, yang berpusat pada sekeliling sabda Tuhan dan bersama-sama merasa bangga berbangsa pada wahyu terakhir dan benar.[10]
Untuk dapat digolongkan sebagai umat Islam, seseorang harus melakukan kesaksian pribadi berupa niatan yang diucapkan dengan lisan serta pengakuan atas ke-Esa-an Allah dan kerasulan Muhammad. Dengan memeluk agama Islam, timbullah keyakinan yang hampir bersifat emosional yang mendorong dirinya untuk bersungguh-sungguh dan setia kepada Tuhan, agama dan masyarakat (sesama muslim) dan pemerintah. Solidaritas kemudian timbul melampaui batasan interpensi rasional dan material yang selanjutnya menimbulkan masyarakat persaudaraan dibawah kedaulatan Tuhan. Dalam keadaan ini keadilan sosial akan terlihat secara nyata melampaui keadilan ekonomi yang tidak akan terlaksana kecuali dengan integritas (kejujuran) kolektif, persamaan yang solider, kemerdekaan yang dikontrol dan hak untuk rasa harga diri.
Kekuasaan atau kedaulatan hanyalah berada ditangan Tuhan. Tuhanlah yang berhak menentukan hukum atas manusia. Tujuan seorang mukmin adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan dengan jalan menghormati dan melaksanakan hukum-hukum wahyu dan orang Islam harus mempersatukan tenaga mereka untuk mencapai tujuan yang diterangkan dalam al-Qur’an, dalam rangka kehidupan umat.
Dengan memeluk agama Islam, berarti seseorang itu mengakui adanya persamaan derajat dan hak dihadapan Allah. Betapapun tingginya pangkat dan kedudukan yang dimiliki, dia seperti manusia yang lain, sama sekali tidak memiliki hak istimewa dihadapan Allah. Disinilah prinsip-prinsip dari sistem moral dan hukum Islam, yakni prinsip keadilan dibentuk. Peraturan dan moralitas sosial membentuk hak atas kewajiban yang harus dipikul oleh umat Islam tanpa ada perbedaan. Semua memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah.
Allah dan rasul-Nya telah memberi jaminan mutlak untuk melindungi hak setiap orang. Jika terpaksa, pembangkangan baik dalam bidang politik ataupun sosial adalah mungkin. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak suka orang-orang yang berbuat dzalim. Ia menganjurkan untuk membalas ketidak adilan dan penolakan yang kuat terhadap kedzaliman yang akan dihukum oleh Allah. Karena itu orang mukmin berhak menentang dan kalau perlu merobohkannya. Menurut hadits, Abu bakar yang menggantikan nabi Muhammad sebagai khalifah telah menegaskan :” Taatilah aku selama aku ta’at kepada Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mentaatinya, maka kamu tidak berkewajiban mentaatiku.[11]
Sistem sosial dalam masyarakat Islam ini pada dasarnya menekankan pada dua hal. Pertama, tanggungjawab individu terhadap diri dan lingkungannya. Kedua, penekanan pada pengaruh lingkungan sosial dalam membentuk pikiran, tujuan, moral, dan perilaku manusia sampai pada tingkat tertentu.
Islam menghendaki agar setiap orang berusaha untuk menemukan dan menempuh kebenaran serta tidak menjadikan lingkungannya sebagai alasan penyelewengan dari ajaran-ajaran Islam ( Q.S.4:97 ). Agama juga memperingatkan manusia agar tidak merasa puas setelah menemukan jalan kebenaran dan melarangnya untuk meninggalkan kewajiban memperbaiki kondisi lingkungan sosialnya ( Q.S.1: 5-6 ) karena kejatuhan masyarakat akan berakibat bergantinya kebajikan menjadi keburukan. Oleh karena itulah dalam Islam diserukan agar amar ma’ruf nahi mungkar dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali.
F. Musyawarah sebagai dasar demokrasi
Langkah positif untuk mengembangkan demokrasi adalah dibukanya kran kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat. Kebebasan ini terkait dengan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan yang bertugas menjalankan hukum-hukum Wahyu. Kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat haruslah didasari oleh semangat saling mengingatkan terhadap hal kebenaran dan kesabaran (Q.S.103:3).
Dalam rutinitas sehari-hari, sering terjadi proses tukar-pikiran dan pandangan (musyawarah) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam upaya mencari pemecahan terhadap suatu masalah. Perdebatan dan adu argumentasi dalam musyawarah tidaklah dipandang jelek manakala dilandasi oleh semangat mencari kebenaran dan meraih maslahat.
Dasar-dasar tentang anjuran untuk bermusyawarah dapat kita jumpai dalam beberapa firman Allah, diantaranya: “Dan segala urusan mereka, dimusyawarahkan diantara mereka”.(Q.S.42:38),”Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada segala urusan, maka apabila engkau telah ‘azamkan (membulatkan cita-cita) bertawakkallah kepada Allah; Bahwasanya Allah menyertai orang-orang yeng bertawakkal kepadanya”.(Q.S.3:159).
Praktek musyawarah seringkali dilakukan oleh Rasulullah. Manakala hendak memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan umum, beliau diperintahkan untuk mengemukakan segala sesuatu urusan keduniaan yang berkenaan dengan masyarakat umum kepada orang yang ahli dikalangan sahabat yang dapat dipandang sebagai wakil para rakyat pada umumnya.[12]
Ada satu pelajaran amat berharga yang telah disampaikan oleh al-Qur’an berkenaan dengan anjuran musyawarah yeng menjadi dasar bagi demokrasi, yakni firman Allah dalam surat an-Naml ayat 23-34 tentang kisah ratu Balqis:
“Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu , dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”.
Berkata ia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”.
Mereka menjawab:” Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”
Dia berkata:”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, maka niscaya mereka membinasakannya, dan dijadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pula yang akan mereka perbuat.”(Q.S.27:29-34).

Inilah pelajaran yang amat berharga dari al-Qur’an tentang pentingnya musyawarah yang menjadi dasar-dasar demokrasi.
Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah bahwa demokrasi yang dianut oleh Islam adalah demokrasi dimana kedaulatan berada ditangan Tuhan. Kekuasaan dan hukum ditentukan Tuhan. Supremasi hukum melingkupi seluruh manusia, tanpa terkecuali, yang akan dipertanggungjawabkannya dihari perhitungan (Yaum al-Hisab). Pengertian ini berbeda dengan asas demokrasi sebagaimana yang biasa kita kenal dan baca, yakni demokrasi yang diadopsi dari pemahaman barat, yang diartikan sebagai kedaulatan berada ditangan rakyat.
G. Mengembangkan Kesadaran Demokrasi dalam dunia Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan yang bergerak dibidang sosial dan agama, sudah barang tentu pesantren selalu berusaha menempatkan policy-nya dalam rel-rel Islam. Nilai etika dan moralitas Islam merupakan materi pokok yang harus ditanamkan sejalan dengan tujuan daripada pendidikan Islam itu sendiri, yakni kesempurnaan dan keutamaan jiwa, sebagaimana telah diungkapkan oleh al-Ghazali dalam Mizanul Amal. Pendapat al-Ghozali ini didukung pula oleh Prof.Dr. Athiyah al-Abrasyi dalam pernyataannya: “Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam yang dikembangkan oleh kaum muslimin, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarmya dari pendidikan.”[13]
Kesempurnaan jiwa manusia hanya dapat dicapai manakala seluruh potensi-potensi diri dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Untuk mencapai kesempurnaan ini, pendaya-gunaan kecakapan akal rasional dan penalaran haruslah dikembangkan seluas-luasnya, jangan sampai salah satu diantaranya terjadi penyumbatan oleh sistem yang beku dan kaku. Sementara itu, sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pesantren, diakui atau tidak, pada umumnya masih dipengaruhi oleh model-model tradisional yang berpegang pada otoritas-otoris mutlak seorang guru atau Kyai. Sehingga upaya pencapaian kearah kesempurnaan jiwa manusia yang menjadi tujuan dari pendidikan mengalami banyak kendala. Oleh karena itulah model-model tradisional agaknya perlu untuk direkonstruksi kembali.
Anggapan bahwa “pesantren dapat diumpamakan sebuah kerajaan kecil, dan seterusnya…” merupakan kendala dalam mengembangkan budaya demokrasi di lingkungan pesantren.
Dunia pesantren, bila ia dapat dikatakan demikian, adalah sebuah miniatur dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Sedangkan, model masyarakat yang paling ideal adalah sistem sosial kemasyarakatan yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah Saw semasa di Madinah. Sistem inilah yang disebut sebagai sistem pemerintahan madani (Civil Society).
Dalam sistem sosial yang dikembangkan, keberadaan Rasulullah sebagai pemegang otoritas wahyu dan hukum syar’i masih tetap diperhitungkan. Segala masalah hukum dikembalikan kepada beliau untuk dimintai fatwa. Namun, apabila didapati hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan kaum muslimin, kebijakan yang diambil Rasulullah adalah dengan mengumpulkan para sahabat yang dipilih dari kalangan cerdik cendekia, diakui integritasnya serta dianggap mampu mewakili kaumnya di forum musyawarah guna mencari solusi terbaik. Didalam forum tersebut, masing-masing memberikan pendapat dan masukan kepada Rasulullah sebagai bahan-bahan pertimbangan.[14]
Sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin, Rasulullah menunjukkan sifat yang begitu bersahaja, tidak alergi terhadap kritik dan saran, walau dari seorang suku badui sekalipun. Dalam urusan-urusan duniawi, beliau lebih mempercayakannya kepada para sahabat yang dianggap ahli dan diterima oleh masyarakat. Beliau hanya bertindak sebagai pengontrol yang juga memperhatikan suara umat.
Dalam sistem sosial yang dikembangkan, Rasulullah berhasil membina hubungan persaudaraan diantarsa sesama muslim sebagai ikatan perjanjian yang nyata dalam praktek… bukan hanya sekedar ucapan yang tak berarti.[15]…Perasaan pengutamaan kepentingan bersama dan suka duka bersama sungguh-sungguh bersenyawa dalam semangat persaudaraan, sehingga masyarakat yang baru terbentuk itu penuh dengan teladan yang mulia….
Pada waktu itu, Rasulullah SAW ibarat kakak tertua bagi jemaah kaum yang beriman. Beliau sama sekali tidak mengistimewakan diri dengan gelar kebesaran atau kemuliaan apapun juga.[16]
Dengan meneladani konsep Rasulullah diatas, seorang pemimpin,--didalam lingkungan pesantren adalah Kyai, hendaknya menjadi pengayom bagi seluruh elemen pondok pesantren yang diasuhnya, dengan tanpa pilih kasih, membuka kran kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, bersahaja, tidak membanggakan kedudukan dan menyalah-gunakannya, menjadi khodimul ummat yang mampu menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Konsep “pesantren sebagai sebuah kerajan kecil, dan seterusnya…” sama sekali bukan bentuk yang ideal bagi pegembangan demokratisasi dunia pesantren. Bahkan, asumsi ini justru membuat batasan non visual dan menciptakan kesenjangan antara pribadi Kyai dan santri. Keadaan ini tentunya kurang baik bagi proses pengembangan potensi diri santri. Kesenjangan yang terjadi dalam proses interaksi sosial antara Kyai dan santri ini menimbulkan ekses negatif dalam bentuk ikatan batin semu antar kedua belah fihak, yang akan mudah terkikis oleh waktu. Ikatan batin yang terbentuk hanya menyentuh pada permukaan dimensi terluar dari hubungan antara guru dan murid yang lebih banyak didasari oleh perasaan segan, sungkan, takut kualat, dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan tidak dapat mencapai pada tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Sikap kritis santri, kebebasan bersuara dan menyampaikan pendapat sudah selayaknya dikembangkan sebagai upaya untuk menumbuhkan budaya demokrasi di pesantren. Penolakan terhadap sikap kritis santri banyak dikaitkan dengan ketakutan akan hilangnya dominasi sosio-politik Kyai terhadap para pengikutnya. Alasan ketakutan ini sebenarnya tidaklah perlu, sebab, sebagaimana kita sadari bahwa pengertian demokrasi dalam Islam adalah kedaulatan yang berada di tangan Tuhan, dimana hanya Tuhanlah yang berhak menentukan hukum. Manusia hanyalah pelaksana dari hukum-hukum Ilahi. Kritik santri, semestinya dijadikan sebagai sarana introspeksi diri Kyai sebagai manusia yang diserahi tugas memimpin umat. Kritik santri adalah peringatan (warning) yang paling cepat dan bermanfaat bagi diri Kyai untuk mengamati adanya perubahan sikap dan perilaku. Dengan demikian, fungsi daripada sifat kritis santri dapat diibaratkan sebagai pertolongan pertama yang diperlukan.
Dengan berkembangnya demokrasi dalam dunia pesantren, akan membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan pesantren dan juga terhadap setiap individu yang menjadi elemen dari pondok pesantren. Dengan terbukanya suasana demokratis, diharapkan masing-masing pihak dapat berlomba-lomba dalam kebajikan (Fastabihul Khairat).
H. Kesimpulan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki corak interaksi yang unik, yang terjalin antara Kyai dan Santri.
Sebagai miniatur dari masyarakat yang sesungguhnya, pondok pesantren, pada umumnya masih mempergunakan sistem-sistem tradisionalnya yang bersifat feodal dan otoritarian. Anggapan bahwa pesantren dapat diumpamakan seperti sebuah kerajaan kecil adalah sistem sosial yang terlahir dari warisan tradisional yang pernah berkembang dalam masyarakat Jawa dimana penguasa atau raja dipandang sebagai simbol kekuatan kosmis yang memegang kuasa dan wewenang absolut karena mereka dianggap sebagai wakil Tuhan. Konsekuensinya timbullah pandangan bahwa ucapan Kyai adalah bagaikan sabda pandita ratu dan seorang santri harus patuh dan tunduk kepada segala perintah dan larangan Kyainya.
Agama Islam yang menempatkan Allah sebagai sumber dari segala sesuatu menampik adanya diskriminasi terhadap seluruh manusia yang beriman. Mereka adalah sama dalam pandangan Allah dan memiliki tanggungan atas kewajiban yang sama pula. Tiada seorang pun yang berhak menyatakan bahwa ia “tidak bisa salah” dalam menafsirkan hukum-hukum Allah.
Dalam komunitas Islam, telah dikembangkan kehidupan demokratis yang berdasarkan atas kedaulatan ditangan Tuhan, oleh Rasulullah pada masa di Madinah. Bentuk sistem sosial yang dikembangkan oleh Rasul merupakan bentuk masyarakat paling ideal yang disebut juga masyarakat Madani (Civil Society).
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman sehingga sudah saatnya ia melakukan perubahan dengan berganti sistem yang lebih demokratis.Untuk itu, di perlukan terciptanya suatu kondisi yang kondusif bagi perubahan sistem yang lebih demokratis dengan melakukan restrukturisasi terhadap pandangan yang sebelumnya telah diterapkan.











BIBLIOGRAPHI

Al-Ghazali, Mizanul Amal, Kairo : Dar al-Ma’arif. 1967.
Al-Ghazali, Muhammad, Fiqhus-Sirah. Kairo. Dar al-Ma’arif. tt.
Al-Abrasyi M. Athiyah. At-Tarbiyatul Islamiyah Wa Falsafatuha. Kairo : Babiyul Hilbi Wa Syirkah. tt
Ash-Shiddiqie, Hasbi H., Al Islam II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Arifin H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama). Semarang : Thoha Putra. 1983.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000.
Bahesty, Bahonar. Prinsip-Prinsip Islam Dalam Al-Qur’an. Jakarta : Risalah Masa. 1992.
Boesard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang. 1980.
Dhofier, Zamakhsyarie. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES. 1984
Majid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Yayasan Paramadina, 1997.
Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren. Jakarta : LP3ES. 1975.
Partokosumo, H. Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta : Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Yogyakarta. 1995.
Paku Buwana IV, Sri. Wulangreh Garapnipun Darusuprapto. Surabaya : Citra Jaya. 1982.
Shaleh, Abdurrahman. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren. Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren. Jakarta : Departemen Agama. 1978
Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghozali. Jakarta : Bumi Aksara. 1991.


[1] Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta : Yayasan Paramadina, 1997), 103.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000), 95.
[3] Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1984) 10
[4] Sudjoko Prasodjo, (ed.). Profil Pesantren, ( Jakarta : LP3ES: 1975) 6.
[5] H.M. Arifn, Kapita Selekta Pendidikan Umum dan Agama, (Semarang : Thoha Putra, 1983) 240.
[6] Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, 56.
[7] Paku Buwana IV, Wulangreh Garapnipun Darusuprapto, (Surabaya : Citra Jaya, 1982). l72-73.
[8] Lihat Bahesty Bahonar, Prinsip-Prinsip Islam Dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Risalah Masa, 1992). 86-87.
[9] Marcel A. Boesard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980). 159.
[10] Ibid. 194.
[11] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawi, (Mesir 1936), 311
[12] Hasbi Ash-Shiddiqie, Al Islam II, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977). 604.
[13] M. Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyatul Islamiyah Wa Falsafatuha, (Kairo : Babiyul Hilbi Wa Syirkah). 1969.
[14] H. Hasbi As-Shiddiqy, Al-Islam II. 604.
[15] Muhammad Al-Ghazali, Fiqhus-Sirah, (Jakarta : Al-Ma’arif, tt). 308.
[16] Ibid, 309.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar