Senin, 02 Maret 2009

PERJANJIAN HUDAIBIYAH (STRATEGI POLITIK SPEKTAKULER)

PERJANJIAN HUDAIBIYAH
(STRATEGI POLITIK SPEKTAKULER)
Oleh : Zainul Musthafa RS


I
Pra – Wacana

Michael H. Hart meletakkan nama Muhammad pada rengking pertama dari seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Alasan pemilihan tersebut didasarkan karena kesaksesan Muhammad yang luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi,[1] yang dicapai dalam kurun waktu kurang lebih 13 tahun. Dalam kehidupan yang keras itu Muhammad kemudian mampu merobah tradisi ritual (peribadatan) masyarakat setempat yang asalnya paganis dirobah dengan tradisi keislaman yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan tunggal (monotheisme).
Disamping memperolih keberhasilan dalam bidang agama, Muhammad juga mampu merombak tatanan kehidupan masyarakat yang sangat fanatik suku (humanisme suku) sesuai dengan watak dan karakteristik masyarakat Arab, dirobah menjadi fanatik agama atau ikatan emosional antar pemeluk islam.
Oleh karena itu kesaksesan Muhammad ini tidak bisa dipandang sebelah mata dengan mengatakan : Wah wajar, Muhammad kan selalu mendapat bimbingan dari Tuhan. Seakan-akan semua yang dihasilkan Muhammad itu merupakan karunia Tuhan, sehingga seakan-akan Muhammad tidak punya kreasi dan strategi dalam pengembangan agama maupun menata kehidupan masyarakat.
Memang kita mengakui apapun yang terjadi dialam ini merupakan grend design dari Tuhan, tetapi anggapan ini kemudian tidak boleh mematikan karunia Tuhan itu sendiri yang menciptakan manusia dengan kemampuan meng-indera (empiris), meng-analisis (rasional) terhadap apapun yang ada disekelilingnya, yang ini menjadi embrio munculnya ilmu pengetahuan pada diri manusia.
Dengan demikian, terkait dengan perjanjian Hudaibiyah maka kiprah Muhammad (sebagai manusia yang dikaruniai kecerdasan) sangat nampak sekali ketika mengadakan deplomasi dengan orang-orang Quraisy yang meskipun tidak disetujui oleh banyak sahabat karena dianggap kurang menguntungkan tetapi bagi Muhammad tidak sehingga ia tetap kokoh pada pendiriannya. Dan ini terbukti setelah perjanjian ini berjalan maka keuntungan-keuntungan yang diperulih umat Islam sangat banyak. Ini merupakan srategi politik spektakuler Muhammad.

II
BACKGROUND SEJARAH

Pada tahun 6 H Nabi Muhammad bersama kira-kira 1000 sampai 1400 orang sahabat berangkat melakukan ibadah haji ke Makah. Sebagai tindakan pencegahan, kalau tujuan mereka disalah pahami oleh kaum Quraisy, kaum Muslimin dilarang keras membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri dari 70 ekor unta, juga mengenakan pakian ihram.[2] Cara ini akan menghilangkan kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan meyakinkan mereka akan maksud damai umat Islam. Dan memang sudah men-tradisi dikalangan Arab siapa saja yang melakukan peribadatan di al-Masjid al-Haram pada bulan-bulan suci, maka terjamin keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman :

يسئلونك عن الشهر الحرام قتال فيه قل قتال فيه كبير وصد عن سبيل الله وكفر به والمسجد الحرام واحراج اهله منه اكبر عند الله

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci; bolehkan berperang ? Katakanlah: Berperang pada bulan suci itu suatu dosa besar. Tetapi merinangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepada-Nya, merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu lebih besar lagi dosanya sisisi Allah”.

Ketika hampir sampai di kota Makah mereka melihat kaum Quraisy bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata. Buda’il kepala suku Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik terhadap Islam. Dia membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya mengirimkannya kembali untuk melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam datang untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum Quraisy juga diiusulkan agar menerima perdamaian dengan mereka selama masa tertentu. Karena telah mengirim pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti di Hudaibiyah.[3]
Perundingan terus dilakukan kedua belah pihak tetapi selalu tidak menemukan titik temu, sehingga pada ahirnya Nabi memilih Uthman bin Affan sebagai alternatif terahir untuk melakukan deplomasi. Dipilihnya Uthman oleh Nabi desebabkan dia adalah salah satu sahabat yang barasal dari suku Quraisy seperti suku yang berkuasa di Makah saat itu, sehingga diharapkan memperulih kemudahan-kemudahan didalam perundingan dan tidak dikhawatirkan terjadi penyiksaan.
Diplomasi yang dilakukan oleh Uthman dengan pihak Quraisy cukup alot sehingga memakan waktu yang cukup lama. Ketidak hadiran Uthman ditengah-tengah kaum Muslimin menimbulkan kecurigaan dikalangan umat Islam. Bahkan ada yang sampai menduga bahwa Uthman telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Akibatnya umat Islam panik pikirannya kacau tidak menentu. Disinilah peran Nabi muncul dengan memberi ketenangan kepada mereka sehingga diadakan ikrar kesetiaan (bai’ah) bahwa mereka akan berperang habis-habisan dalam mempertaruhkan agama mereka. Dibawah sebuah pohon tidak jauh dari Nabi, ikrar itu dicapkan dengan gembira. Didalam sejarah ikrar ini terkenal dengan Bai’ah al-Ridhwan.[4] Untuk itulah maka firman Allah turun :

لقد رضى الله على المؤمنين اذ يبايعونك تحت الشجرة فعلم ما فى قلوبهم فانزل السكينة عليهم واثابهم فتحا قريبا

“Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu dibawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu diturunkan-Nya kepada mereka rasa ketenagan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat in”.

Tekat umat Islam untuk mengorbankan jiwa mereka dalam mempertahan kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi sadar. Pengalaman mereka yang telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang mereka dapat menyadari apa arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka menugaskan Suhel Ibn Amar untuk melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan senjata disetujui dengan memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam jangka waktu 10 tahun. Pasal-pasal pokok perjanjian itu adalah sebagai berikut : [5]

1. Nabi Muhammad dan kaum-Nya pada tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun depan mereka boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh lebih dari tiga hari.
2. Kedua belah pihak tidak saling menyerang (mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh) tahun.
3. Siapa saja dari pihak Quraisy yang berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka diperkenankan. Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak Quraisy maka dianggap bagian dari mereka.
4. Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan.

Syarat-syarat itu tentu sangat tidak menyenangkan umat Islam, tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi, mereka tetap diam. Kemurahan dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui perjanjian ini menyebabkan sedikit rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan meramalkan hasil ahir yang baik dari perjanjian itu.
Dengan hasil kesepakan seperti ini, maka kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan harapan akan kembali ke Makah pada tahun depan. Sebagian besar dari mereka pulang dengan parasaan barat hati. Kalau tidak karena perintah Nabi, mereka tidak akan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa berperang.[6]
Dalam perjalanan menuju Madinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi yaitu surat al-Fath, Surat ini kemudian dibacakan Nabi kepada para sahabat-sahabat-Nya :

انا فتحنا لك فتحا مبينا ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر ويتم نعمته عليك ويهديك صراطا مستقيما
“Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karunia-Nya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus”

Analisa Penulis
III
PERJANJIAN HUDAIBIYAH, STATEGI POLITIK SPEKTAKULER

Banyak tindakan-tindakan Muhammad yang hanya bisa dijelaskan jika kita memahami peran ganda beliau sebagai pemimpin negara yang baru berdiri serta pembawa misis agama. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara, ia harus bertindak tegas demi kepentingan negara yang ia dirikan. Muhammad mengizinkan umatnya melakukan tipu daya jika diperlukan untuk mengalahkan musuh Islam.[7]
Dalam kasus perjanjian Hudaibiyah, Muhammad menampakkan dirinya sebagai seorang negarawan yang sangat berbakat dan piawai sekaligus juga seorang juru dakwah agama yang bisa melihat kedepan. Ia bukan seorang idealis yang tinggal di menara gading (ivory tower). Muhammad dapat menangani situasi-situasi yang sulit dengan kemampuannya yang luar biasa serta kepiawian politiknya, meskipun untuk menunda sementara waktu beberapa ajaran Islam atau menyesuaikan dengan tujuan politik.
Dalam perjanjaan Hudaibiyah yang terkenal itu, Muhammad meminta sekretasinya Ali untuk menuliskan kata Rasulullah dibelakan namanya, orang-orang Mekah keberatan dengan hal itu karena mereka belum siap menerimanya sehingga harus di hapus. Ali keberatan untuk menghapusnya sehingga Rasulullah sendiri yang menghapusnya.[8] Sebagai seorang negarawan ia tahu betul bahwa kata-kata itu tidak akan terlalu berpengaruh. Yang penting adalah tercapainya negisasi yang akan memberinya ruang gerak untuk mengkonsolidasikan kedudukannya. Untuk mencapai hal itu, Nabi bahkan bersedia menerima perdamaian yang kurang menguntungkan baginya. Kaum muslimin pada waktu itu hanyalah kekuatan yang baru muncul sehingga dalam keadaan yang kurang menguntungkan itu tidak salah menerima perjanjian tersebut. Inilah salah satu kepiawian Muhammad yang membuatnya menjadi orang kuat. Bahkan para sejarawan Muslim pun mencoba membedakan antara perilaku Muhammad sebagai negarawan dan Nabi.
Meski pada awalnya banyak sahabat yang menyangsikan isi dari perjanjian Hudaibiyah, yang di anggap kekelahan umat islam ketika mengadakan deplomasi dengan utusan orang-orang Quraisy karena dianggap ada beberapa isi perjanjian yang justru menguntungkan orang-orang Quraisy. Bahkan sahabat Ali sempat memboikot untuk tidak menuruti apa yang diperintah Rasul yang menyuruh untuk mengapus tambahan Rasulullah dibelakang nama Muhammad sebagaimana yang kehendaki Suhail (utusan orang-orang Quraisy.
Sebenarnya apa yang dilakukan Muhammad merupakan hasil politik yang sangat bijaksana yang mempunyai pandangan yang jauh kedepan, sangat menguntungkan bagi perkembangan umat Islam. Dengan adanya perjanjian tersebut maka itu merupakan pertama kali Muhammad diakui sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kedudukan sama dengan pimpinan-pimpinan Arab lainnya dan tanpa sadar mereka juga mengakui berdirinya dan adanya kedaulatan Islam.
Demikian juga dengan dibolehkannya umat Islam melakukan ibadah haji, merupakan suatu pengakuan dari mereka bahwa Islam adalah agama yang sah diakui diantara agama-agama di jazirah Arab.
Berkat perjanjian Hudaibiyan ini, maka pada tahun yang telah ditentukan (satu tahun kemudian), obsesi umat Islam menjadi kenyataan. Di Makah banyak orang yang membuka pintu hatinya untuk menerima ajakan orang-orang Islam betapapun kondisi mereka dalam pengawasan pemerintah Quraisy.[9]
Masuknya Muhammad ke Makah merupakan langkah yang mempunyai makna stategis bagi terjalinnya hubungan Muhammad dengan berbagai suku. Ibadah haji kali ini telah membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk mengadakan dialog dengan mayoritas warga Makah dan warga suku-suku yang lain dengan melancarkan dakwah kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Semua itu dapat dilakukan dengan mulus tanpa ancaman yang berarti, bahkan sekalipun dari pihak-pihak yang tidak mau menerima ajakan Muhammad. Tak ada lagi keberanian melakukan ancaman terhadap orang-orang Islam secara terang-terangan dan biadab sebagaimana masa-masa yang silam.
Demikian halnya dengan adanya gencatan senjata, maka Muhammad dengan leluasa menjalin komusikasi dengan penguasa-penguasa diluar zarirah Arab. Muhammad menulis surat yang dikirim kepada raja-raja dan penguasa diluar semenanjung Arab yang isinya berupa ajakan untuk bergabung dalam satu ajaran.
Muhammad mengutus kurir yang ditugaskan untuk menyampaikan suratnya pada Heraklius, Kisra, Muqauqis, Najasyi (Negus) di Abisinia, kapada Haristh al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra di Yaman.[10] Demikian juga surat dikirim kepada penguasa Bashra di Siria. Isi surat itu adalah ajakan untuk memeluk agama Islam.[11] Muhammad mengetahui daerah Basrah pada masa Ramawi selalu mengalami perderitaan. Dan secara khusus Muhammad menggugah keadilan dan melepaskan manusia dari kesewenang-wenangan yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Disamping strategi sebagaimana diatas. Ada satu cara yang dilakukan Muhammad untuk perluasan Islam adalah dengan cara poligami. Tercatat ada beberapa nama wanita yang dikawini Nabi yang tujuannya adalah perluasan agama Islam semisal Khadijah, Ummu Habibah, Maimunah, Mariyatul Qibthiyah,dll. Ini sekaligus menepis tuduhan Barat yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang yang Hipper Sex, mempunyai nafsu besar, gemar kawin untuk melampiaskan nafsu biologisnya.[12]

IV
Purna – Wacana

Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan umat Islam dalam melakukan deplomasi dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam pendiriannya karena baginya memenangan yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian. Kemenangan yang sebenarnya adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad merupakan pemimpin yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Maka terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu tahun disaat umat Islam diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari ritual itu sangat terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat Islam diberi wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili mereka yang masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini disaksikan oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini adalah kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat al-Fath. Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.


Demikian, semoga bermanfaat.

BIBLIOGRAPHI




Angineer, Asghar Ali, The Origin and Development of Islam, Ter. Imam Baihaqi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Hart, Michael H. The 100, a ranking of the most influential persons in history, New York: Publishing Company, 1978.

Haikal, Muhammad Husayn, Hayat Muhammad, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935.

Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Salim, Abd al-Aziz, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah, Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986.

al-Sharqawi, Abdurrahman, Muhammad Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas Siraj Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Yasin, Khalil, Muhammad di mata cendekiawan barat, Terj. H. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1990.
[1] Michael H. Hart, The 100, a ranking of the most influential persons in history (New York: Publishing Company, 1978), 27.
[2] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374.
[3] Hudaibiyah merupakan sebuah tempat yang berada dilintasan jalan dari Jedah ke Makah yang berada diluar tanah haram. Tempat tersebut diperkirakan perjalanan satu hari dari Makah (saat itu). Ditempat inilah Nabi Muhammad berhenti dan menanti penyeleseian ketika terjadi penolakan oleh penduduk Arab atas pelaksanaan ibadah haji Nabi. (Lihat Ensilkopedi Islam, 137).
[4] Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 140.
[5] Abd al-Aziz Salim, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986), 126.
[6] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad, 383.
[7] Asghar Ali Angineer, The Origin and Development of Islam, Ter. Imam Baihaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 170.
[8] Informasi ini juga dapat dipakai dasar untuk mementahkan anggapan ilmuan-ilmuan saat ini yang mengatakan bahwa Muhammad itu adalah seorang yang Ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Ini terbukti dengan perbuatan beliau yang menghapus Rasulullah dibelakang nama beliau ketika Ali keberatan menghapusnya.
[9] Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas Siraj (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 329.
[10] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad, 387.
[11] Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad Rasul al-Huriyyah, 929.
[12] Khalil Yasin, Muhammad di mata cendekiawan barat, Terj. H. Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), 34.

MENGGUGAH KESADARAN DEMOKRASI DALAM DUNIA PESANTREN

MENGGUGAH KESADARAN DEMOKRASI
DALAM DUNIA PESANTREN

Oleh : R. Zainul Musthofa


A. Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama dengan sistem asrama yang pada umumnya bersifat tradisional dan terdapat dipedesaan. Lembaga pendidikan ini merupakan salah satu dari sekian banyak model pendidikan yang mencerminkan keaslian model pendidikan di Indonesia (Indigenous).[1]
Sebagai lembaga sosial tradisional, pondok pesantren memiliki pengaruh yang luas dan mengakar pada masyarakat sekitarnya. Oleh karena pondok pesantren dinilai sebagai lembaga yang hidup dari dan didukung oleh anggota masyarakat, baik dari daerah di sekitar pondok sendiri maupun dari daerah lain (karena santri suatu pondok pesantren umumnya sebagian berasal dari daerah lain). Dengan kondisi ketradisionalan ini ahirnya banyak sejarawan, pengamat keislaman banyak yang mempertanyakan : Mengapa pesantren sampai saat ini tetap survive padahal sudah dihadapkan dengan berbagai bentuk menegemen pendidikan yang lebih modern.[2]
Pondok pesantren merupakan miniatur dari gambaran komunitas masyarakat sesungguhnya. Dalam lembaga ini banyak ditemukan berbagai model interaksi sosial yang terbentuk. Proses interaksi yang terbentuk di dalam lembaga ini selanjutnya menentukan bagaimana model masyarakat pesantren itu tercipta.
Suatu hal yang sering terlihat, adalah kesan bahwa pesantren terlahir sebagai lembaga pendidikan yang mewarisi sistem tradisional jawa, yakni bentuk-bentuk feodalisme yang otoriter. Pondok pesantren tak ubahnya seperti sebuah kerajaan kecil dengan Kyai sebagai rajanya. Gejala sosial ini semakin nampak jelas bilamana kita mencermati interaksi sosial yang terjalin antara Kyai dan Santri.
Sementara itu, slogan-slogan tentang demokrasi telah banyak kita dengar, dan bahkan arusnya pun terasa meresapi cakrawala pemikiran bangsa, termasuk dalam dunia pesantren. Namun, pengertian demokrasi Islami berbeda dengan demokrasi yang berarti kedaulatan adalah ditangan rakyat. Pengertian demokrasi yang penulis maksud dalam makalah ini adalah demokrasi yang didasarkan pada sendi-sendi agama Islam, yang hanya mengakui bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan. Suatu gambaran ideal tentang demokrasi Islam dapat dilihat dari sistem sosial yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Akan tetapi, keinginan untuk membentuk masyarakat demokrasi dalam dunia pesantren ini menemukan banyak kendala karena diterapkan dalam sistem sosial tradisional yang banyak berkembang dilingkungan pesantren. Oleh karena itu diperlukan suatu rekonstruksi terhadap persepsi yang berkembang mengenai pondok pesantren dan sistem sosialnya.
B. Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren, agaknya diangkat dari kata Santri yang berarti murid, atau mungkin Shastri yang berarti huruf. Sebab, di dalam pesantren inilah mula-mula santri belajar mengenal dan membaca huruf. Adapun istilah Pondok, mungkin diambil dari kata Funduk, yang berarti penginapan atau hotel.
Ditinjau dari makna terminologinya, maka ada beberapa pendapat berkenaan dengan Pondok pesantren :
a. Menurut Zamakhsyarie Dhofier , Pondok Pesantren diartikan :
Sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar dibawa bimbingan seorang guru (atau lebih) yang dikenal sebagai Kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan pesantren dimana Kyai yang bertempat juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan-kegiatan lain.[3]
b. Sudjoko Prasodjo berpendapat :
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal dimana seorang Kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santrinya berdasar kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal didalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”[4].
c. H.M. Arifin berpendapat :
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) dimana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian dan madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik secara independen.[5]
Dari berbagai macam pengertian diatas, dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) elemen dasar yang membentuk sebuah pondok pesantren, yaitu : Pertama, adanya Kyai; Kedua, adanya murid atau santri; ketiga, adanya pondokan sebagai asrama tempat tinggal, serta pemberian pengajian kitab-kitab arab klasik abad pertengahan.
C. Status Sosial Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali, bahkan merupakan pendirinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemampuan Kyai dianggap sangat berpengaruh bagi pertumbuhan pesantren.
Kyai telah menempatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Ia dengan kelebihan pengetahuannya tentang Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, sehingga dengan demikian, mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan masyarakat awam. Dalam beberapa hal mereka menunjukkan kekhususannya dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman, yaitu kopiah dan serban.[6]
Para Kyai juga dianggap memiliki kontrol terhadap sistem kehidupan sosial masyarakat Jawa, tidak hanya dalam kehidupan beragama, tetapi juga dalam soal-soal politik. Bahkan, kebanyakan Kyai di Jawa memiliki anggapan bahwa pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil dimana Kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak ada seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan Kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali Kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.
D. Dasar Interaksi Sosial antara Kyai - Santri
Santri sebagai seorang musyafir pencari ilmu menganggap Kyai sebagai guru yang harus dipatuhi. Terkadang, karena hidup dan tinggal diasrama berdekatan dengan Kyainya, mereka pun menganggap seolah-olah bapaknya sendiri. Sebaliknya, Kyai menganggap santrinya sebagai amanat Tuhan yang harus di lindungi. Terlepas dari hubungan batiniah tersebut, dalam kebanyakan pesantren yang bercorak dan atau ber-paham tradisional, masih berkembang anggapan pesantren tak ubahnya kerajaan kecil dengan Kyai sebagai raja. Asumsi ini dapat dikembalikan pada sistem kepercayaan yang berkembang dalam tradisi Jawa dimana raja atau penguasa dianggap sebagai simbol dari kekuatan kosmis. Mereka adalah wakil Tuhan di dunia yang memiliki wewenang dan kuasa mutlak. Pemahaman interaksi sosial semacam ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa mereka harus patuh dan tunduk secara penuh terhadap apapun perintah dan larangan dari Kyai. Mereka takut kuwalat bilamana tak taat, selain itu mereka berusaha untuk menyenangkan hati Kyainya agar mendapat berkah.
Bahkan, menyinggung hubungan antara guru dan murid, dalam Wulangreh (Paku Buwana IV, 1982, 72-73) disebutkan :
“Guru wajib dihormati bahkan disembah. Karena gurulah yang menunjukkan hidup yang sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan, dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah paling berat. Maka, baiklah, mohonkanlah siang-malm akan cinta kasihnya. Janganlah cinta kasihnya sampai berkurang.”[7]

E. Masyarakat Islami dan Sistem Sosialnya
Masyarakat dapat di definisikan sebagai sekelompok individu yang hidupnya saling berhubungan. Mereka punya keinginan dan kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuannya. Masyarakat, sebagaimana ditulis dalam Our Philosopy, dapat terbentuk secara kebetulan (accidental) terkadang pula secara sengaja (intensional). Masyarakat accidental biasanya tidak bertahan lama karena kerjasama yang terjalin antar individu bersifat amat dangkal, parsial, dan waktunya pun singkat. Bebeda dengan masyarakat intensional yang didasari adanya tujuan bersama yang hendak dicapai dimana mereka melakukan kerjasama dan hubungan timbal-balik antar anggota, melakukan pemilihan keanggotaan, bersadarkan prinsip-prinsip dan aturan tertentu yang diterima oleh setiap anggota secara sadar dan penuh pertimbangan. Cara berfikir dan bekerja seorang anggota dapat mempengaruhi nasib anggota lainnya. Mereka pun menetapkan kriteria dan aturan-aturan tertentu menurut keanggotaannya. Model masyarakat semacam ini dapat ditemui dalam institusi sosial, keuangan, politik atau pendidikan.[8]
Islam, sebagai agama universal, meletakkan segala sesuatu bersumber pada Tuhan. Doktrin Islam tentang sumber tertinggi adalah Tuhan dapat ditemui dalam beberapa ayat Allah:”Bagi Allah kerajaan lelangit dan bumi dan Allah amat berkuasa atas segala sesuatu.”(Q.S.3:189), “Baginya kerajaan Lelangit dan bumi dan kepada Allahlah dikembalikan perkara-perkara.”(Q.S.45:7;57:5).
Ekspresi kehendak Tuhan terdapat dalam al-Qur’an, Nabi, para penggantinya dan kepala-kepala politik tidak mempunyai kekuasaan kecuali dengan delegasi (pelimpahan). Karena hukum itu diterapkan bagi semua, tiap mukmin adalah wakil Tuhan dimuka bumi. Mereka yang diberi kekuasaan (Q.S. 4:59), baik kekuasaan spiritual ataupun keduniawian tidak mempunyai kekuasaan mutlak. Mereka hanya bertugas mengatur umat untuk melaksanakan ketentuan hukum. Mereka tidak berhak untuk mengakui “tidak bisa salah” dalam menafsirkan petunjuk-petunjuk Tuhan. Karena hak penafsiran berada dalam konsensus (ijma’) masyarakat dengan tidak akan menuntut suatu kekuasaan duniawi yang tak terbatas.[9]
Masyarakat dalam doktrin Islam, tergabung dalam suatu kebersamaan yang bersatu atas dasar politik dan agama, yang berpusat pada sekeliling sabda Tuhan dan bersama-sama merasa bangga berbangsa pada wahyu terakhir dan benar.[10]
Untuk dapat digolongkan sebagai umat Islam, seseorang harus melakukan kesaksian pribadi berupa niatan yang diucapkan dengan lisan serta pengakuan atas ke-Esa-an Allah dan kerasulan Muhammad. Dengan memeluk agama Islam, timbullah keyakinan yang hampir bersifat emosional yang mendorong dirinya untuk bersungguh-sungguh dan setia kepada Tuhan, agama dan masyarakat (sesama muslim) dan pemerintah. Solidaritas kemudian timbul melampaui batasan interpensi rasional dan material yang selanjutnya menimbulkan masyarakat persaudaraan dibawah kedaulatan Tuhan. Dalam keadaan ini keadilan sosial akan terlihat secara nyata melampaui keadilan ekonomi yang tidak akan terlaksana kecuali dengan integritas (kejujuran) kolektif, persamaan yang solider, kemerdekaan yang dikontrol dan hak untuk rasa harga diri.
Kekuasaan atau kedaulatan hanyalah berada ditangan Tuhan. Tuhanlah yang berhak menentukan hukum atas manusia. Tujuan seorang mukmin adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan dengan jalan menghormati dan melaksanakan hukum-hukum wahyu dan orang Islam harus mempersatukan tenaga mereka untuk mencapai tujuan yang diterangkan dalam al-Qur’an, dalam rangka kehidupan umat.
Dengan memeluk agama Islam, berarti seseorang itu mengakui adanya persamaan derajat dan hak dihadapan Allah. Betapapun tingginya pangkat dan kedudukan yang dimiliki, dia seperti manusia yang lain, sama sekali tidak memiliki hak istimewa dihadapan Allah. Disinilah prinsip-prinsip dari sistem moral dan hukum Islam, yakni prinsip keadilan dibentuk. Peraturan dan moralitas sosial membentuk hak atas kewajiban yang harus dipikul oleh umat Islam tanpa ada perbedaan. Semua memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah.
Allah dan rasul-Nya telah memberi jaminan mutlak untuk melindungi hak setiap orang. Jika terpaksa, pembangkangan baik dalam bidang politik ataupun sosial adalah mungkin. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak suka orang-orang yang berbuat dzalim. Ia menganjurkan untuk membalas ketidak adilan dan penolakan yang kuat terhadap kedzaliman yang akan dihukum oleh Allah. Karena itu orang mukmin berhak menentang dan kalau perlu merobohkannya. Menurut hadits, Abu bakar yang menggantikan nabi Muhammad sebagai khalifah telah menegaskan :” Taatilah aku selama aku ta’at kepada Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mentaatinya, maka kamu tidak berkewajiban mentaatiku.[11]
Sistem sosial dalam masyarakat Islam ini pada dasarnya menekankan pada dua hal. Pertama, tanggungjawab individu terhadap diri dan lingkungannya. Kedua, penekanan pada pengaruh lingkungan sosial dalam membentuk pikiran, tujuan, moral, dan perilaku manusia sampai pada tingkat tertentu.
Islam menghendaki agar setiap orang berusaha untuk menemukan dan menempuh kebenaran serta tidak menjadikan lingkungannya sebagai alasan penyelewengan dari ajaran-ajaran Islam ( Q.S.4:97 ). Agama juga memperingatkan manusia agar tidak merasa puas setelah menemukan jalan kebenaran dan melarangnya untuk meninggalkan kewajiban memperbaiki kondisi lingkungan sosialnya ( Q.S.1: 5-6 ) karena kejatuhan masyarakat akan berakibat bergantinya kebajikan menjadi keburukan. Oleh karena itulah dalam Islam diserukan agar amar ma’ruf nahi mungkar dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali.
F. Musyawarah sebagai dasar demokrasi
Langkah positif untuk mengembangkan demokrasi adalah dibukanya kran kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat. Kebebasan ini terkait dengan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan yang bertugas menjalankan hukum-hukum Wahyu. Kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat haruslah didasari oleh semangat saling mengingatkan terhadap hal kebenaran dan kesabaran (Q.S.103:3).
Dalam rutinitas sehari-hari, sering terjadi proses tukar-pikiran dan pandangan (musyawarah) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam upaya mencari pemecahan terhadap suatu masalah. Perdebatan dan adu argumentasi dalam musyawarah tidaklah dipandang jelek manakala dilandasi oleh semangat mencari kebenaran dan meraih maslahat.
Dasar-dasar tentang anjuran untuk bermusyawarah dapat kita jumpai dalam beberapa firman Allah, diantaranya: “Dan segala urusan mereka, dimusyawarahkan diantara mereka”.(Q.S.42:38),”Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada segala urusan, maka apabila engkau telah ‘azamkan (membulatkan cita-cita) bertawakkallah kepada Allah; Bahwasanya Allah menyertai orang-orang yeng bertawakkal kepadanya”.(Q.S.3:159).
Praktek musyawarah seringkali dilakukan oleh Rasulullah. Manakala hendak memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan umum, beliau diperintahkan untuk mengemukakan segala sesuatu urusan keduniaan yang berkenaan dengan masyarakat umum kepada orang yang ahli dikalangan sahabat yang dapat dipandang sebagai wakil para rakyat pada umumnya.[12]
Ada satu pelajaran amat berharga yang telah disampaikan oleh al-Qur’an berkenaan dengan anjuran musyawarah yeng menjadi dasar bagi demokrasi, yakni firman Allah dalam surat an-Naml ayat 23-34 tentang kisah ratu Balqis:
“Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu , dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”.
Berkata ia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”.
Mereka menjawab:” Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”
Dia berkata:”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, maka niscaya mereka membinasakannya, dan dijadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pula yang akan mereka perbuat.”(Q.S.27:29-34).

Inilah pelajaran yang amat berharga dari al-Qur’an tentang pentingnya musyawarah yang menjadi dasar-dasar demokrasi.
Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah bahwa demokrasi yang dianut oleh Islam adalah demokrasi dimana kedaulatan berada ditangan Tuhan. Kekuasaan dan hukum ditentukan Tuhan. Supremasi hukum melingkupi seluruh manusia, tanpa terkecuali, yang akan dipertanggungjawabkannya dihari perhitungan (Yaum al-Hisab). Pengertian ini berbeda dengan asas demokrasi sebagaimana yang biasa kita kenal dan baca, yakni demokrasi yang diadopsi dari pemahaman barat, yang diartikan sebagai kedaulatan berada ditangan rakyat.
G. Mengembangkan Kesadaran Demokrasi dalam dunia Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan yang bergerak dibidang sosial dan agama, sudah barang tentu pesantren selalu berusaha menempatkan policy-nya dalam rel-rel Islam. Nilai etika dan moralitas Islam merupakan materi pokok yang harus ditanamkan sejalan dengan tujuan daripada pendidikan Islam itu sendiri, yakni kesempurnaan dan keutamaan jiwa, sebagaimana telah diungkapkan oleh al-Ghazali dalam Mizanul Amal. Pendapat al-Ghozali ini didukung pula oleh Prof.Dr. Athiyah al-Abrasyi dalam pernyataannya: “Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam yang dikembangkan oleh kaum muslimin, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarmya dari pendidikan.”[13]
Kesempurnaan jiwa manusia hanya dapat dicapai manakala seluruh potensi-potensi diri dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Untuk mencapai kesempurnaan ini, pendaya-gunaan kecakapan akal rasional dan penalaran haruslah dikembangkan seluas-luasnya, jangan sampai salah satu diantaranya terjadi penyumbatan oleh sistem yang beku dan kaku. Sementara itu, sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pesantren, diakui atau tidak, pada umumnya masih dipengaruhi oleh model-model tradisional yang berpegang pada otoritas-otoris mutlak seorang guru atau Kyai. Sehingga upaya pencapaian kearah kesempurnaan jiwa manusia yang menjadi tujuan dari pendidikan mengalami banyak kendala. Oleh karena itulah model-model tradisional agaknya perlu untuk direkonstruksi kembali.
Anggapan bahwa “pesantren dapat diumpamakan sebuah kerajaan kecil, dan seterusnya…” merupakan kendala dalam mengembangkan budaya demokrasi di lingkungan pesantren.
Dunia pesantren, bila ia dapat dikatakan demikian, adalah sebuah miniatur dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Sedangkan, model masyarakat yang paling ideal adalah sistem sosial kemasyarakatan yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah Saw semasa di Madinah. Sistem inilah yang disebut sebagai sistem pemerintahan madani (Civil Society).
Dalam sistem sosial yang dikembangkan, keberadaan Rasulullah sebagai pemegang otoritas wahyu dan hukum syar’i masih tetap diperhitungkan. Segala masalah hukum dikembalikan kepada beliau untuk dimintai fatwa. Namun, apabila didapati hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan kaum muslimin, kebijakan yang diambil Rasulullah adalah dengan mengumpulkan para sahabat yang dipilih dari kalangan cerdik cendekia, diakui integritasnya serta dianggap mampu mewakili kaumnya di forum musyawarah guna mencari solusi terbaik. Didalam forum tersebut, masing-masing memberikan pendapat dan masukan kepada Rasulullah sebagai bahan-bahan pertimbangan.[14]
Sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin, Rasulullah menunjukkan sifat yang begitu bersahaja, tidak alergi terhadap kritik dan saran, walau dari seorang suku badui sekalipun. Dalam urusan-urusan duniawi, beliau lebih mempercayakannya kepada para sahabat yang dianggap ahli dan diterima oleh masyarakat. Beliau hanya bertindak sebagai pengontrol yang juga memperhatikan suara umat.
Dalam sistem sosial yang dikembangkan, Rasulullah berhasil membina hubungan persaudaraan diantarsa sesama muslim sebagai ikatan perjanjian yang nyata dalam praktek… bukan hanya sekedar ucapan yang tak berarti.[15]…Perasaan pengutamaan kepentingan bersama dan suka duka bersama sungguh-sungguh bersenyawa dalam semangat persaudaraan, sehingga masyarakat yang baru terbentuk itu penuh dengan teladan yang mulia….
Pada waktu itu, Rasulullah SAW ibarat kakak tertua bagi jemaah kaum yang beriman. Beliau sama sekali tidak mengistimewakan diri dengan gelar kebesaran atau kemuliaan apapun juga.[16]
Dengan meneladani konsep Rasulullah diatas, seorang pemimpin,--didalam lingkungan pesantren adalah Kyai, hendaknya menjadi pengayom bagi seluruh elemen pondok pesantren yang diasuhnya, dengan tanpa pilih kasih, membuka kran kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, bersahaja, tidak membanggakan kedudukan dan menyalah-gunakannya, menjadi khodimul ummat yang mampu menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Konsep “pesantren sebagai sebuah kerajan kecil, dan seterusnya…” sama sekali bukan bentuk yang ideal bagi pegembangan demokratisasi dunia pesantren. Bahkan, asumsi ini justru membuat batasan non visual dan menciptakan kesenjangan antara pribadi Kyai dan santri. Keadaan ini tentunya kurang baik bagi proses pengembangan potensi diri santri. Kesenjangan yang terjadi dalam proses interaksi sosial antara Kyai dan santri ini menimbulkan ekses negatif dalam bentuk ikatan batin semu antar kedua belah fihak, yang akan mudah terkikis oleh waktu. Ikatan batin yang terbentuk hanya menyentuh pada permukaan dimensi terluar dari hubungan antara guru dan murid yang lebih banyak didasari oleh perasaan segan, sungkan, takut kualat, dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan tidak dapat mencapai pada tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Sikap kritis santri, kebebasan bersuara dan menyampaikan pendapat sudah selayaknya dikembangkan sebagai upaya untuk menumbuhkan budaya demokrasi di pesantren. Penolakan terhadap sikap kritis santri banyak dikaitkan dengan ketakutan akan hilangnya dominasi sosio-politik Kyai terhadap para pengikutnya. Alasan ketakutan ini sebenarnya tidaklah perlu, sebab, sebagaimana kita sadari bahwa pengertian demokrasi dalam Islam adalah kedaulatan yang berada di tangan Tuhan, dimana hanya Tuhanlah yang berhak menentukan hukum. Manusia hanyalah pelaksana dari hukum-hukum Ilahi. Kritik santri, semestinya dijadikan sebagai sarana introspeksi diri Kyai sebagai manusia yang diserahi tugas memimpin umat. Kritik santri adalah peringatan (warning) yang paling cepat dan bermanfaat bagi diri Kyai untuk mengamati adanya perubahan sikap dan perilaku. Dengan demikian, fungsi daripada sifat kritis santri dapat diibaratkan sebagai pertolongan pertama yang diperlukan.
Dengan berkembangnya demokrasi dalam dunia pesantren, akan membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan pesantren dan juga terhadap setiap individu yang menjadi elemen dari pondok pesantren. Dengan terbukanya suasana demokratis, diharapkan masing-masing pihak dapat berlomba-lomba dalam kebajikan (Fastabihul Khairat).
H. Kesimpulan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki corak interaksi yang unik, yang terjalin antara Kyai dan Santri.
Sebagai miniatur dari masyarakat yang sesungguhnya, pondok pesantren, pada umumnya masih mempergunakan sistem-sistem tradisionalnya yang bersifat feodal dan otoritarian. Anggapan bahwa pesantren dapat diumpamakan seperti sebuah kerajaan kecil adalah sistem sosial yang terlahir dari warisan tradisional yang pernah berkembang dalam masyarakat Jawa dimana penguasa atau raja dipandang sebagai simbol kekuatan kosmis yang memegang kuasa dan wewenang absolut karena mereka dianggap sebagai wakil Tuhan. Konsekuensinya timbullah pandangan bahwa ucapan Kyai adalah bagaikan sabda pandita ratu dan seorang santri harus patuh dan tunduk kepada segala perintah dan larangan Kyainya.
Agama Islam yang menempatkan Allah sebagai sumber dari segala sesuatu menampik adanya diskriminasi terhadap seluruh manusia yang beriman. Mereka adalah sama dalam pandangan Allah dan memiliki tanggungan atas kewajiban yang sama pula. Tiada seorang pun yang berhak menyatakan bahwa ia “tidak bisa salah” dalam menafsirkan hukum-hukum Allah.
Dalam komunitas Islam, telah dikembangkan kehidupan demokratis yang berdasarkan atas kedaulatan ditangan Tuhan, oleh Rasulullah pada masa di Madinah. Bentuk sistem sosial yang dikembangkan oleh Rasul merupakan bentuk masyarakat paling ideal yang disebut juga masyarakat Madani (Civil Society).
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman sehingga sudah saatnya ia melakukan perubahan dengan berganti sistem yang lebih demokratis.Untuk itu, di perlukan terciptanya suatu kondisi yang kondusif bagi perubahan sistem yang lebih demokratis dengan melakukan restrukturisasi terhadap pandangan yang sebelumnya telah diterapkan.











BIBLIOGRAPHI

Al-Ghazali, Mizanul Amal, Kairo : Dar al-Ma’arif. 1967.
Al-Ghazali, Muhammad, Fiqhus-Sirah. Kairo. Dar al-Ma’arif. tt.
Al-Abrasyi M. Athiyah. At-Tarbiyatul Islamiyah Wa Falsafatuha. Kairo : Babiyul Hilbi Wa Syirkah. tt
Ash-Shiddiqie, Hasbi H., Al Islam II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Arifin H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama). Semarang : Thoha Putra. 1983.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000.
Bahesty, Bahonar. Prinsip-Prinsip Islam Dalam Al-Qur’an. Jakarta : Risalah Masa. 1992.
Boesard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang. 1980.
Dhofier, Zamakhsyarie. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES. 1984
Majid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Yayasan Paramadina, 1997.
Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren. Jakarta : LP3ES. 1975.
Partokosumo, H. Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta : Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Yogyakarta. 1995.
Paku Buwana IV, Sri. Wulangreh Garapnipun Darusuprapto. Surabaya : Citra Jaya. 1982.
Shaleh, Abdurrahman. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren. Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren. Jakarta : Departemen Agama. 1978
Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghozali. Jakarta : Bumi Aksara. 1991.


[1] Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta : Yayasan Paramadina, 1997), 103.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000), 95.
[3] Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1984) 10
[4] Sudjoko Prasodjo, (ed.). Profil Pesantren, ( Jakarta : LP3ES: 1975) 6.
[5] H.M. Arifn, Kapita Selekta Pendidikan Umum dan Agama, (Semarang : Thoha Putra, 1983) 240.
[6] Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, 56.
[7] Paku Buwana IV, Wulangreh Garapnipun Darusuprapto, (Surabaya : Citra Jaya, 1982). l72-73.
[8] Lihat Bahesty Bahonar, Prinsip-Prinsip Islam Dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Risalah Masa, 1992). 86-87.
[9] Marcel A. Boesard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980). 159.
[10] Ibid. 194.
[11] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawi, (Mesir 1936), 311
[12] Hasbi Ash-Shiddiqie, Al Islam II, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977). 604.
[13] M. Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyatul Islamiyah Wa Falsafatuha, (Kairo : Babiyul Hilbi Wa Syirkah). 1969.
[14] H. Hasbi As-Shiddiqy, Al-Islam II. 604.
[15] Muhammad Al-Ghazali, Fiqhus-Sirah, (Jakarta : Al-Ma’arif, tt). 308.
[16] Ibid, 309.
MASA DEPAN MA'HAD 'ALY
MENGHADAPI LIBERALISASI PENDIDIKAN
Oleh : R. Zainul Musthofa, RS *




A. Pengantar
Keberadaan Ma'had Aly di Indonesia (sebagaimana penelitian Abdul Moqsith Ghazali) tidak terlepas dari gagasan KH As’ad Syamsul Arifin di penghujung tahun 80-an. Pengasuh Ponpes Sukorejo Situbondo itu gundah melihat banyak kiai sepuh NU meninggal dunia. Sedang generasi baru yang mampu mengemban misi keagamaan dan kemasyarakatan organisasi Islam terbesar itu belum kunjung tampak. Kegundahan itu KH As’ad berencana membentuk lembaga pendidikan yang secara khusus mempersiapkan lahirnya ahli fikih. Untuk itu, pada 1989, Kiai As’ad menggelar halaqah (forum diskusi, red) dengan mengundang tak kurang dari 100 kiai. Mereka diantaranya KH Ali Yafie, KH Abdul Muchith Muzadi, KH Sahal Mahfudz, KH Abdul Wahid Zaini (alm.), KH Fahmi Saifuddin (alm.), KH Tolhah Hasan, KH Yusuf Muhammad (alm.) dan KH Masdar F. Mas’udi. Maka pada tahun 1990 berdiri Ma’had Aly Situbondo, bernama al- Ma’had al-Aly li al-’Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh, dengan spesialisasi fikih dan ushul fikih. Terhadap gagasan tersebut, pemerintah memberikan respon positif dengan mengeluarkan KMA Nomor 284 Tahun 2001 dan Keputusan Dirjen Binbaga Islam No. E/179/2001 tentang Pokok-Pokok Pedoman Penyelenggaraan Ma’had Aly.
Dengan dikeluarkannya KMA Nomor 284 Tahun 2001 tersebut maka lembaga pendidikan Ma'had Aly mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di pesantren. Saat ini lebih dari 100 Ma’had Aly berdiri di Indonesia. Diantaranya Ma'had Aly Situbondo dengan spesialisasi fikih dan ushul fikih, Ma'had Aly Al-Hikam Malang dengan konsentrasi Tafsir, Ma’had al-‘Aly Darus-Sunnah Ciputat dengan konsentrasi Ilmu Hadits, Ma'had Aly Tebuireng dll. Yang terahir berdiri adalah Ma'had Aly Sunan Drajat dengan Konsentrasi Syari'ah (Hukum Islam).
Disaat Ma'had Aly mengalami perkembangan yang sangat pesat, saat ini lembaga ini dihadapkan pada persoalan mendasar yakni liberalisasi pendidikan. Meski sebanarnya Liberalisasi pendidikan telah mulai digulirkan di Indonesia sejak tahun 1994 namun dampak dari lebaralisasi melai terasa saat ini. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi liberalisasi pendidikan dengan disahkannya UU No. 47, tahun 1994. Dengan adanya undang-undang ini, sebagai negara hukum tentunya harus taat kepada hukum, Negara Indonesia harus mengimplementasikan dalam berbagai kebijakan pendidikan nasionalnya. Terlepas dari dampak positif dan negatif yang muncul, pemerintah Indonesia dan masyarakat harus siap melaksanakan liberalisasi pendidikan. Jika tidak melaksanakannya, maka dikhawatirkan Negara Indonesia mendapat sanksi berupa dikeluarkan dari anggota World Trade Organization (WTO).

B. Menghadapi Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan telah menjadi isu global yang tidak lain adalah agenda negara-negara maju untuk menjadikan dunia ini menjadi satu sistem peradaban, satu model kehidupan, dan satu strategi pendidikan. Orientasi penyatuan dunia menjadi satu sistem, satu model, dan satu strategi telah dijadikan agenda utama negara-negara maju dengan slogan “New World Order” (tatanan dunia baru) dengan versi mereka.
Secara yuridis pemerintah Indonesia telah menerima liberalisasi pendidikan. Mulai dari bentuk kerja sama antara lembaga pendidikan nasional dengan lembaga pendidikan asing, bahkan tidak lama lagi akan muncul lembaga pendidikan tinggi asing atau PTA di Indonesia. Perguruan tinggi terbaik semisal Harvard (USA), Al-Azhar (Mesir) bisa jadi akan mengembangan perguruannya di Indonesia. Kalau sedah seperti itu maka Perguruan Tinggi Indonesia termasuk juga Ma'had Aly, apabila tidak memiliki daya saing maka siap saja termarginalisasi dari kompetisi.
Melihat demikian dahsyatnya gelombang liberalisasi sebagai nyawa dari paham liberlisme, maka lembaga pendidikan Islam di Indonesia harus mengantisipasinya dengan cara-cara demokratis dan elegan. Tantangan demi tantangan yang bersifat global harus dihadapi dan diselesaikan dengan arif dan bijaksana, tanpa kehilangan jati diri lembaga. Oleh karena itu sejak dini lembaga pendidikan Islam termasuk juga Ma'had Aly sudah harus membentuk karakter keilmuan dengan cara memperjelas spesifikasi keilmuan sebagai bahan kajian perguruan tinggi tersebut. Kalau Perguruan Tinggi tidak mempunyai kerakter keilmuan yang kuat maka akan sangat sulit bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri yang ada di Indonesia.

C. Masa Depan Ma'had Aly

Meski Ma'had Aly ini merupakan lembaga pendidikan termuda dibanding dengan lembaga pendidikan islam lainnya, namun kita tidak perlu risau terhadap masa depan Ma'had Aly meski harus menghadapi liberalisasi pendidikan. Ada beberapa alasan mendasar mengapa saya mempunyai kesimpulan seperti itu :
1. Secara kelembagaan, dengan dikeluarkannya KMA Nomor 284 Tahun 2001 dan Keputusan Dirjen Binbaga Islam No. E/179/2001 tentang Pokok-Pokok Pedoman Penyelenggaraan Ma’had Aly, maka keberadaannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Disamping surat keputusan di atas, keberadan Ma'had Aly akan selalu muncul sebagaimana pesantren mengingat tingkat kemandiriannya sudah teruji bertaun-tahun. Tidak ada lembaga se-independen Ma'had Aly dan pesantren.
2. Ma’had Aly menjadi salah satu alternatif pilihan umat Islam di Indonesia dalam mewujudkan ilmu agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Semuanya dijadikan sebagai wahana pengembangan ilmu agama Islam. Di dalam Ma’had Aly diberikan materi kurikulum pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan kurikulum pesantren (lebih mendalam) dengan mengakomodasi ilmu-ilmu modern yang sangat diperlukan mahasiswa. Dengan demikian Ma’had Aly secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai pesantren plus akademik sebagaimana perguruan tinggi lain di Indonesia. Artinya bahwa Ma’had Aly merupakan institusi yang mempunyai dua fungsi dasar yakni lembaga dakwah dan lembaga akademis.
Ma’had Aly sebagai lembaga dakwah dan lembaga akademik secara sinergis pernah terjadi dalam sejarah umat Islam. Pada masa keemasan Islam (abad 8-13 M) sinergisitas lembaga-lembaga keilmuan Islan seperti baitul hikmah dan darul hikmah sebagai lembaga dakwah dan lembaga akademik terjaga sampai jangka waktu yang sangat panjang. Terjaganya sinergisitas di antara dua fungsi lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut menjadikan Islam mampu memimpin peradaban dunia. Tidak bermaksud bernostalgia (sindrom romantik), realitas sejarah tersebut pernah digenggam umat Islam, salah satu pendukungnya adalah sinergisitas antara dua fungsi di atas dalam sebuah lembaga pendidikan Islam tingkat tinggi. Oleh karena itu, tidak terlalu naif manakala umat Islam sekarang mencoba untuk mengembalikan kondisi di atas dengan memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ma’had Aly dengan fungsi akademik adalah sebagai pencetus ide-ide, ilmu-ilmu, teknologi-teknologi, dan seni terbaru sedangkan dengan fungsi dakwah adalah sebagai corong dan penyampai ajaran Islam haruslah menjadi orientasi utama para pemilik otoritas Ma’had Aly. Jika telah mampu diwujudkan kondisi ideal semacam ini, maka dalam waktu yang tidak lama keunggulan Islam akan terbukti.
3. Orientasi keilmuan Ma'had Aly sejak dini sudah terbaca secara jelas. Semisal Ma'had Aly fi Ulum al-Syari'ah. Maka mata kuliah yang diajarkan sejak awal sudah ditekankan pada kajian fiqh baik klasik maupun kontemporer jungan jumlah SKS yang cukup banyak, diperkenakan fiqh muqaranah (fil Fiqh dan fil Usul), Pendalaman pada Usul al-Fiqh dan Qawa'id al-Fiqh. Juga latihan menyelesaikan kasus-kasus aktual (Masa'il Fiqhiyah). Yang dicari disini bukan murni fiqh-nya, akan tetapi Manhaj al-Fikr (metode berfikirnya). Jadi tidak ada maka kuliah yang hanya sekedar menjadi pelengkap perkuliahan. Demikian juga dengan Ma'had Aly fi Ulum al-Tafsir, Ma'had Aly fi Ulum al-Hadish, maka sejak dini sudah ada spesifikasi keilmuan yang sangat jelas. Ini bias terjadi karena silabus perkuliahan Ma'had Aly dibuat sendiri oleh pesantren disesuaikan dengan karakter keilmuan pesantren.
4. Selama ini input Ma'had Aly (mahasiswa) memenuhi standar sama yakni bisa membaca dan memahami teks-teks klasik. Ini memudahkan bagi mahasiswa baik dalam matrikulasi atau proses perkuliahan karena berangkat dari kemampuan yang sama. Jadi fungsi dosen hanya sekedar sebagai pembimbing yang bertugas mengarahkan, dan meluruskan pemahaman mahasiswa yang dipandang kurang benar. Disamping itu, dosen-dosennya juga mempunyai kemampuan memahami kitab klasik dan lulus perguruan tinggi sehingga mampu mengembangkan teks-teks klasik dengan pendekatan ilmu-ilmu modern.
5. Lulusan Ma'had Aly akan sangat dibutuhkan untuk mengisi kekosongan kader-kader ulama. Karena memiliki kemampuan lebih dalam bidang agama maka keberadaannya akan selalu dinanti masyarakat.

D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa eksistensi Ma'had Aly tidak akan mudah dipengaruhi adanya liberalisasi pendidikan. Ini disebabkan Ma'had Aly memiliki karakter ilmu yang kuat dan khas yang itu tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Karenanya sebesar apapun pengaruh liberalisasi pendidikan Ma'had Aly akan tetap survive seperti halnya pondok pesantren di Indonesia.

Wallahua'lam bis shawab.












AKTUALISASI KONSEP ASWAJA (Telaah Kritis Aspek Kesejarahan)

AKTUALISASI KONSEP ASWAJA
(Telaah Kritis Aspek Kesejarahan) *
Oleh : Zainul Musthafa RS **

Dalam sejarah pemikiran Islam, term Ahlus Sunah Wal Jama’ah (Aswaja), muncul secara lebih popular setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w.936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944) mengajukan kalamnya yang antitetis terhadap-pikiran-pikiran Mu’tazilah. Pemikiran-pemikiran teologi kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran-pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berfikir rasional ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisionalis, dengan tetap berpegang pada sunnah Nabi Muhammad SAW.
Meski terjadi pada era Asy’ari dan al-Maturidi, namun embrio dari aliran ini sudah disinyalir oleh Rasul seperti dalam riwayat Imam Tirmizi, Ibn Majah dan Abu Daud bahwa: Bani Israil akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani akan terpecah menjadi 72 dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Kemudian para shahabat tanya: Siapa mereka itu wahai Rasulullah ? Lalu Rasul menjawab: Mereka itu adalah ma ana alaihi al-yauma wa ashabi.
Memahami hadish diatas maka akan terjadi tarik menarik antara beberapa golongan yang muncul ke permukaan tentang siapa yang dimaksud satu golongan yang selamat dalam hadish diatas. Karena tidak ada penjelasan dari Nabi tentang siapa yang dimaksud dengan ma ana alaihi al-yauma wa ashabi, maka kita harus berani mengatakan bahwa Aswaja (dalam alam Indonesia), tidak hanya milik NU, tetapi juga milik Muhammadiyah, persis, syiah dll. Kalau kita menganggap kebenaran tersebut hanya milik NU, maka implikasinya golongan-golongan di luar NU akan masuk neraka. Apakah kita berani mengatakan semacam pendapat seperti itu ? tentu tidak kan.
Istilah aswaja muncul sudah begitu lama sehingga tidak ada di antara ulama-ulama (Indonesia) yang mencoba mengkaji secara serius tentang konsep ini. Baru setelah kehadiran intelektual muda NU yang bernama Said Agil Siraj (sekarang menjadi salah seorang pengurus PBNU) setelah mengenyam pendidikan di timur tengah, diskusi ini marak kembali. Dalam beberapa diskusi terutama dengan generasi muda NU, Agil banyak melontarkan gugatan-gugatan yang selama ini jarang terlintas dalam pikiran ulama-ulama sebelumnya.
Pada mulanya, perbincangan hanya seputar pertanyaan, mengapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual umat ? Biasanya dimulai dengan pertanyaan besar: limadha ta’akhara al-muslimun wa taqaddama al-akhraun ? Diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai pada kesimpulan bahwa kemandekan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah paham Aswaja secara qaulan. Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (manhaj al-fikr), seberapa jauh ini akan membantu membuka wacana intelektualitas ditubuh NU ? Yakni cara berfikir yang memegang prinsip tawashuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan).
Dalam system ke-aswaja-an versi NU sangat jelas bahwa dalam bermadhhab, kita mengikuti salah satu dari empat madhhab tetapi dalam kenyataannnya kita selalu merujuk kepada satu imam (Syafi’i) bahkan kadang-kadang sampai menafikan madhhab-madhhab yang lain meski itu yang lebih applicable. Dalam beberapa kasus, bahsul masa’il NU selalu menggunakan kitab yang dinilai mu’tabarah (kitab yang sudah diakui kesunniannya) kalau ghairu mu’tabarah maka tidak diterima.
Kita harus ingat tidak semua masalah terutama di Indonesia ini bisa diselesaikan dengan hanya mengacu kepada pendapat Syafi’i an sich, contoh Nikah tanpa wali, transaksi jual beli, halal bi halal dll, tanpa sadar kita selalu pakai imam lain (selain Syafi’i), itu kita kakukan yang kadang-kadang tanpa kita sadari.
Dalam bertasawuf kita ikut kepada Junaid al-Baghdadi yang lebih condong ke arah ittihad (penyatuan diri kepada Tuhan). Dengan pernyataannya: Awwalu maa iftaradhallahu ala ibadihi ma’rifatullah, wa awwalu ma’rifatihi tauhidulu wa awwalu tauhidihi bi bafyi sifatihi anhu. Begitu pula al-Ghazali kalau kita analisis lebih mengidolakan al-Hallaj dalam bertauhid. Kalau demikian halnya mungkinkah pendapat-pendapat tersebut bertemu dengan tauhidnya al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Oleh karena itu, menurut saya Aswaja itu hanyalah suatu manhaj al-fikr atau faham saja yang didalamnya masih memungkinkan memuat banyak aliran dan madhhab. Faham tersebut bersifat lentur, fleksibel, moderat. Hal ini tercermin dari sikap sunni yang selalu mengambil jalan tengah. Ia tidak mendahulukan akal dari pada nash, namun juga tidak mengkebiri akal. Faham ini meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang aqidah, syari’ah, mu’amalah, akhlaq, sosio-politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Kita harus berani mengaktualisasi kembali ajaran-ajaran aswaja agar supaya rangsangan untuk berfikir bebas, kritis dan sistematis bisa muncul (asal masih dalam batas kewajaran dan dalam norma kesopanan).

Demikian semoga bermanfaat.

___________________________

* Disampaikan dalam seminar dengan tema “reaktualisasi ajaran aswaja” yang diadakan oleh PATMA (Persatuan alumni Mts Tanwirul Ma’arif dan IPNU-IPPNU Takerharjo Solokuro Lamongan. 4 Mei 2007.

** Penulis adalah alumni IKAHA Tebuireng yang sekarang sedang menyeleseikan Program S2 (Pasca Sarjana) di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Pandangan Al-Qur'an Terhadap Teori Epistemologi (Belajar Dari Filsafat Ibrahim Dalam Mencari Kebenaran

PANDANGAN AL QUR AN TERHADAP TEORI EPISTEMOLOGI
( Belajar dari Filsafat Ibrahim dalam mencari kebenaran )

Oleh : Zainul Musthofa RS *


A. Pengantar

Ada tiga unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pembahasan filsafat Islam yaitu eksistensi Tuhan, Alam dan Manusia. Dari tiga unsur ini ahirnya lahir pengetahuan. Ketika manusia melihat fenomena alam kemudian menemukan pengetahuan di dalamnya maka orang tersebut menggunkan teori Empiris. Tetapi ketika dia memakai akal pikiran setelah tahu informasi dibalik apa yang dilihat maka orang tersebut menggunakan teori Rasional. Ketika menusia memadukan antara konsep dan realita, antara pernyataan dengan kenyataan maka dia menggunakan teori Kritis.
Islam memandang tidak cukup kalau filsafat pengetahuan hanya didasarkan pada tiga hal diatas. Ada unsur penting yang harus ada dalam filsafat Islam dan itu mempunyai implikasi yang sangat besar bagi kehidupan manusia yaitu proses konsultasi langsung kepada Tuhan. Ini yang disebut dengan pengetahuan Intuisi.
Belajar dari kasus Ibrahim yang memulai filsafatnya dengan proses Empiris, Rasional dan Kritis. Pada saat ketiga hal ini tidak mampu menjawab keraguan dari konsep pengetahuan dia, maka yang dilakukan Ibrahim adalah meminta penjelasan langsung kepada Dzat yang ada dibalik fenomena alam yaitu Allah SWT.

Teori Epistemologi
Dalam Filsafat barat kita mengenal adanya beberapa teori yang menjelaskan tentang proses pencapaian ilmu pengetahuan (kebenaran) yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang tertera dalam Al Qur an. Cuma ada beberapa hal yang perlu kita kompromikan agar pemahaman kita tidak mengalami kesalahan. Dalam Al Qur an (Islam) juga ada satu unsur yang sulit untuk ditinggalkan dan ini sangat menentukan bagi kebenaran suatu ilmu yaitu Intuisi (ilham). Teori-teori tersebut adalah : Empirisme, Rasionalisme, Kritisme.

Teori Empirisme
Aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap panca indera.[1] Jadi ketika kita mengindera sesuatu maka kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi kita. Tokoh filsafat ini adalah John Locke. Ia muncul ketika konsep-konsep Descrates tentang ide-ide fitri sedang berkembang. Ia berusaha mengembalikan segala konsepsi dan ide kepada indera. Teori ini mampu menggugurkan teori ide fitri yang dikembangkan filosof sebelumnya. Belakangan, teori ini tersebar luas dikalangan filosof-filosof Eropa.

Teori Rasionalisme
Aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan menusia adalah pikiran, rasio, jiwa manusia.[2] Teori ini dikemukakan oleh para filosof Eropa diantaranya: Descartes (1596 - 1650) [3] dan Immanuel Kant [4] (1724 - 1804), dan lain-lain.
Teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Pertama, Penginderaan. Kita mengkonsepsi panas, suara, cahaya, karena kenginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, adalah Fitrah dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah.

Teori Kritisisme
Aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar, juga dari dalam jiwa atau pikiran manusia.Teori ini mencoba untuk memadukan antara kebenaran yang diterima oleh indera manusia (kebenaran empiris) kemudian dikaji munurut pendekatan akal (rasio).

Pandangan Al Qur an terhadap Teori Epistimologi
(Belajar dari kasus Ibrahim)

Berangkat dari persepsi yang sangat sederhana “Pentingnya Tuhan dalam memperolih pengetahuan” maka saya mencoba memposisikan epistemologi dalam perspektif Al Qur an dengan mengambil kasus yang menimpa Ibrahim ketika mencari pengetahuan. Ini dipandang penting mengingat dalam filsafat barat, unsur ini tidak terlalu diperhatikan.
Balajar dari kasus pendidikan filsafat nabi Ibrahim ketika mengalami kebimbangan terhadap sumber pengetahuan yang dihasilkan dari proses penginderaan terhadap fenomena alam yang pada ahirnya tidak menemukan kepuasan karena apa yang diindera dengan apa yang ada dalam konsep (rasio) tidak terjadi kesesuaian (bertentangan). Apa yang dialami Ibrohim, menyebabkan ia menyerahkan keputusannya kepada Dzat yang ada dibalik fenomena alam dan yang memberikan pengetahuan. Ini bisa terbaca dari runtutan informasi al-Qur’an :

Ketika malam menjadi gelap, ia melihat bintang lalu ia berkata “inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata “saya tidak suka kepada yang tenggelam”.[5]

Ayat ini menjelaskan kegundahan Ibrahim melihat kaumnya yang tetap tidak mau mengikuti ajakannya untuk menuju kebenaran yang hakiki dan tetap pada kebiasaan yang telah dilakukan nenek moyang mereka yaitu paganis. Pendidikan filsafat pertama yang diajarkan Ibrahim adalah pencarian pengetahuan dengan cara empiris, melihat fenomena Alam yang ada di sekelilingnya.
Yang menarik untuk di kaji, kenapa Tuhan memperlihatkan kepada Ibrahim dan kaumnya tanda-tanda kebesaran melalui bintang, bulan dan matahari, tidak jenis makhluk yang lain seperti sapi, unta, pohon dan sejenisnya. Ini disebabkan karena masyarakat setempat (Babylonia) di samping paganis adalah penyembah bintang, bulan dan matahari. Sehingga tepat sekali Allah kemudian memberi pelajaran dengan contoh-contoh di atas. Anjuran untuk melihat fenomena (empirics) ini juga didukung beberapa ayat Al Qur an di antaranya adalah : Surat Al Maidah 31. Ali Imran 137.
Ketika proses peng-indera-an pertama gagal kerena persepsi awal yaitu “Tuhan Bintang” dengan realitas “Tenggelamnya Bintang” tidak terjadi kesesuaian (Correspondence)[6] sehingga muncul pertanyaan “Masak sih Tuhan bisa hilang”. Ini menyebabkan proses menemukan pengetahuan tentang kebenaran Tuhan mengalami kegagalan. Maka Allah kemudian memberikan tanda yang lain yang lebih terang yaitu Bulan.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata “inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, maka ia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.

Ternyata bulan yang dianggap sebagai Tuhan juga mengalami hal yang sama (tenggelam), Ibrahim yang asalnya sangat yakin bahwa itu Tuhan mengalami kebimbangan lagi, sehingga ia mengatakan: kalau sekiranya Tuhan tidak segera memberikan petunjuknya, pastilah aku menjadi orang-orang yang sesat. Ini merupakan kegagalan indera manusia untuk mengartikan suatu fenomena.
Dari sini tampak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh Ibrahim dalam mencari kebenaran tidak hanya menggunakan pendekatan Empiris saja, ada unsur lain yang digunakan Ibrahim sebelum mengambil kesimpulan yaitu Rasio. Ketika Indera manusia gagal menangkap fenomena, maka yang bekerja selanjutnya adalah akal.
Jadi pengetahuan inderawi bukan satu-satunya pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk memperoleh kebenaran, sebab pada bagian lain Islam juga menyebutkan perlunya untuk menggunakan rasio. Kita bisa melihat dalam beberapa ayat al Qur an yang menjelaskan hal ini di antaranya surat al-Nahl 10-11, Surat al-Maidah 97, Surat Saba’ 46.

Ayat selanjutnya adalah :

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar, maka tatkala matahari itu tenggelam, ia berkata: hai kaumku sesungguhnya aku berlepas dari apa yang kamu sekutukan.[7]

Ketika Ibrahim diberi tanda yang ketiga (matahari), dan Ibrahim tetap tidak mendapatkan kepuasan. Maka di sinilah pentingnya sikap kritis sebelum mengambil keputusan akhir. Sikap kritis sangat diperlukan untuk mengetahui benar tidaknya suatu pengetahuan.
Ketika informasi empiris diterima kemudian dikelola oleh akal (rasio) untuk menentukan apakah informasi pengetahuan itu benar atau tidak, maka proses kritis sangat menentukan. Obyektifitas akal pikiran sangat diperlukan untuk menimbang kebenaran informasi antara fakta dan realita, antara pernyataan dan kenyataan. Ini dapat dimengerti agar validitas kebenaran tetap terjaga. Al Qur an juga menganggap penting tentang hal ini, dan kita bisa lihat dalam beberapa ayat Al Qur an seperti dalam surat az-Zumar 18 dan Surat Isra’ 36.

“Sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.[8]

Dari ayat ini jelas sekali, bahwa proses Kritis sangat menentukan sekali dalam mencari kebenaran. ketika seseorang mendengarkan suatu pendapat (berarti ini adalah proses penginderaan) dengan menggunakan telingannya, kemudian mau mengikuti apa yang paling baik, ini sudah merupakan suatu proses Kritis. Kata-kata “Ahsanah” dalam ayat tersebut merupakan cerminan dari sikap kritis. Ini merupakan proses yang paling ahir dari proses-proses sebelumnya yaitu penginderaan (Empiris) dan berfikir (Rasional).

Ayat yang terahir adalah :

Sesungguhnya aku menghapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama-agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.[9]

Pendidikan filsafat terahir yang diterima dari nabi Ibrahim adalah pengembalian segala putusan ahir kepada Tuhan (ini adalah proses Intuisi). Segala pengetahuan yang yang dihasilkan dari peng-indera-an, rasional, kritis, semuanya harus dikunsultasikan kepada Dzat yang menciptakan pancaindera, pemberi akal pikiran. Sebab apa yang dipandang baik oleh manusia belum tentu sama dengan apa yang dikehendaki Allah, demikian juga sebaliknya. Ini yang menyebabkan kenapa setiap perbuatan manusia (baik melakukan pernikahan, menentukan jodoh dll ) selalu ditanyakan kepada Tuhan baik melalui sholat Tahajjut, Istikharah atau Ubudiyah lainnya. Al Qur an banyak menjelaskan tentang hal ini, diantaranya : Surat Hud 123. Surat Luqman 34. Surat Jin 26.
Proses yang terakhir (Intuisi) inilah yang membedakan dengan filsafat yang berkembang di barat. Filsafat Barat tidak mampu merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan, tetapi mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Romawi, dan juga dari spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir evolusionisme.[10] Sehingga berbeda dengan konsep Islam, dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif, juga mengakui paradigma transendental, pengakuan adanya kebenaran dari Tuhan.

___________________________
* Penulis adalah Direktur FKIS (Forum Kajian Islam Sosial) Pon Pes Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
[1] Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), 97
[2] Ibid
[3] Rene Descartes, filosof Prancis. Descrates mengingatkan kita kepada Al-Ghozali yang dalam mencari pengetahuan tertentu, memulai dengan meragukan segala sesuatu, karena ragu adalah satu bentuk berfikir. Lalu ia mencapai pengetahuan bahwa Tuhan ada karena kepastian pengetahuannya tentang dirinya.
[4] Immanuel Kant adalah seorang filosof Jerman. Posisi Kant merupakan sintesis rasionalisme dan empirisme masa itu.
[5] Al Qur an, 6: 76
[6] Teori Correspendence mengatakan bahwa kebenaran itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya. (Louis Kattsoff, Unsur-unsur filsafat, Terj S. Sumargono, Yogyakarta, tt. 246-267) Dengan demikian maka kebenaran adalah Truth, then, Would be defined as fidelity to obyektive reality: Kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas obyektif. (George Thomas White Patrick, Introduntion to philosophy, London, 1958), 373-374. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa teori correspondence tentang kebenaran memuat dua hal. Pertama adlah pernyataan dan yang kedua adalah kenyataan. Ketika Pernyataan dan Kenyataan terjadi kesesuaian maka itu yang dinamakan benar.
[7] Al Qur an 6: 78
[8] Al Qur an 39 : 17-18.
[9] Al Qur an 6: 79
[10] C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor, 1989), 3.

REKONSTRUKSIREKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh : R. Zainul Musthofa *
“Andai Indonesia tidak pernah merasakan penjajahan, mungkin perguruan
yang ada saat ini tidak semisal Unibraw, ITS, Unesa, tetapi mungkin
Tebuireng, Sunan Drajat, Sidogiri University”.

PENGANTAR
Pesantren merupakan salah satu dari sekian banyak model pendidikan yang mencerminkan keaslian model pendidikan di Indonesia (indigenous). Pesantren sendiri sudah ada sejak jaman Nabi, ketika ada sekelompok shahabat ( ± 40 orang shohabat ) yang hidup bersama nabi di masjid, mereka inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Ashabus-Shuffah. Disini Nabi memerankan diri sebagai seorang Kyai yang men-transformasikan keilmuannya kepada para santrinya (shohabat) dalam berbagai macam disiplin keilmuan, misalnya : keagamaan, militer, ekonomi, sosiologi, dll. Karena memang sentral kegiatan pada masa Nabi berpusat di Masjid.
Pada era selanjutnya, tradisi pesantren dikembangkan oleh missionaris Islam dari jazirah Arab yang sengaja menyiarkan agama Islam di Indonesia menyamar sebagai pedagang rempah-rempah. Jadi bukan aspek berdagangnya yang menjadi prioritas tetapi aspek ubudiyahnya, ini terbukti dengan sikap mereka, ketika pertama kali datang dengan membangun tempat-tempat peribadatan semacam surau, langgar bukan mendirikan supermarket, agro bisnis dan pusat perbelanjaan lainnya.
Sistem semacam ini pada zaman para wali terus dikembangkan terutama menghadapi tradisi hindu-budha yang waktu itu sangat dominan di segala aspek kehidupan. Dalam menjalankan misinya, para wali tidak merobah tradisi yang telah berlaku di masyarakat, hanya saja muatan-muatan yang terkandung didalamnya dirubah dan dimasuki dengan muatan-muatan keislaman. Cara ini ternyata sangat efektif untuk penyebaran agama Islam di Indonesia, sehingga tanpa terasa sedikit demi sedikit mereka mulai sadar atas kekeliruannya dan akhirnya mengakui kebenaran agama Islam yang dikembangkan para wali.
Dari tradisi semacam ini akhirnya pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di daerah pedesaan Jawa yang merupakan basis kekuatan Islam. Sehingga pada tahun 1955 ketika Indonesia dihadapkan pada kesulitan ekonomi akibat penjajahan, maka pesantren dijadikan alternatif pendidikan yang paling diminati oleh banyak kalangan muslim. Jumlah pesantren tahun 2000/2001 mencapai 11.312. Lebih besar 10 % dibanding tahun 1999/2000 yang mencapai 9.818. (lihat data statistik EMIS Depag Pusat).

Sistem Pendidikan Pesantren
Kajian utama yang dikembangkan di lembaga pesantren adalah kitab kuning. Kitab ini merupakan kepustakaan dan pegangan para kyai dalam menentukan kepastian hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya seorang Kyai akan disebut “alim” kalau ia benar-benar memehami, mengajarkan dan mengamalkan apa yang terkandung dalam kitab tersebut.

Secara umum ada dua sistem yang dipakai para kyai dalam menyampaikan materi yang terdapat dalam kitab kepada para santri, sistem semacam ini banyak dipakai dikalangan pesantren tradisonal dalam kurun waktu yang lama. Yaitu sistem sorogan dan sistem bandongan.
Untuk Sistem sorogan, santri membaca kitab (gundul) dihadapan guru, lalu guru tersebut membetulkan apabila ada kesalahan. Sistem ini diperuntukkan bagi santri yang sudah maju dan di kader menjadi kyai sehingga guru bisa memantau langsung perkembangan santrinya. Sedang dalam sistim bandungan, seorang Kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab sementara para santri mendengarkan, memberikan makna dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif, sementara suntri lebih banyak bersikap pasif. Sistim Bandongan ini bermanfaat ketika jumlah santri yang belajar cukup banyak dan dibatasi dalam waktu yang tertentu.

Rekonstruksi sistem pendidikan Pesantren
Ada beberapa kelemahan dari sistem pendidikan pesantren tradisional (sorogan dan bandongan) terutama dalam pengembangan kreatifitas berfikir seorang santri terhadap permasalahan yang terdapat dalam kitab. Sebab dalam pengajian. Ternyata segi kohnitif-nya tidak cukup diberi tekanan, ini terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Dan juga para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya, apalagi untuk mengajukan kritik apabila menemukan kesalahan dalam pelajaran sehingga daya nalar dan kreatifitas berfikir mereka mengalami stagnasi. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa apa yang disampaikan oleh seorang kyai atau ustadz adalah suatu dogma yang dijamin kebenarannya. Karenanya santri tidak berani mengkritisi karena hawatir kuwalat.
Oleh kerenanya sistem semacam ini harus diobeh dengan memberikan kesempatan kepada santri untuk mengembangkan kreatifitas berfikir dengan cara : memberikan kesempatan berdialog terhadap termasalahan yang terdapat dalam kitab. Jadi fungsi kyai tidak hanya membaca kitab tetapi juga memberikan rangsangan untuk berfikir, mengemukakan pendapat meskipun tidak se-ide dengan Kyai. Dengan demikian, santri tidak cenderung bersikap statis yang hanya menunggu apa yang disampaikan oleh seorang Kyai.
Kelemahan lainnya adalah tidak adanya Manhaj Tarihi (Pendekatan Historis). Sering sekali seorang guru pesantren dalam membacakan suatu kitab tidak memberikan pengantar terlebih dahulu tentang kitab yang dibaca. Misalnya : Kitab itu dikarang oleh siapa, dalam kondisi masyarakat yang seperti apa, bagaimana aliran madzhabnya, dll. Sebab terkadang ulama pengarang kitab dipengaruhi oleh kondisi daerah maupun kultur masyarakat setempat sehingga ketika dibaca dan diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perbedaan. Ini penting, agar supaya seorang santri tidak mengalami keterkejutan (shock), dan dia bisa membandingkan pemikiran pengarang kitab dengan pemikirannya. Ini sangat baik untuk menumbuhkan intelegensi seorang santri.
Sistem pendidikan pesantren juga harus dikembangkan terutama ketika menghadapi realitas kehidupan yang semakin modern. Permasalahan-permasalahan yang ketika zaman Nabi tidak terjadi, sekarang mulai muncul kepermukaan. Ingat kasus Human Cloning (Penciptaan manusia diru bagian sel tertentu dari tubuh seseorang). Persoalan ini sangat dilematis, disatu sisi ini merupakan penemuan dari hasil penelitian ilmiyah yang harus dihormati, disisi lain dengan penciptaan manusia semacam ini seseorang sudah berani menjadi tuhan-tuhan kecil yang seenaknya merekayasa bentuk tubuh (body) seseorang, padahal ini merupakan otoritas Allah untuk menentukannya.
Menghadapi realitas semacam ini, pesantren harus berani mengembangkan sistem pendidikannya dengan pendekatan tematik (Manhaj Maudhu’i). Jadi pembahasan difokuskan kepada persoalan-persoalan kontemporer dengan kajian yang sangat mendalam, bila perlu ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan: Kedokteran, Hukum, Ekonomi, maupun Islam. Dengan demikian seorang santri tidak akan tertinggal dalam setiap laju perkembangan zaman. Saat ini, system semacam ini telah dikembangkan oleh intelektual muda NU, Masdar F Mas’udi dengan P3M-nya. Ini harus segera direspon oleh pesantren.
Kelemahan pesantren lainnya adalah tidak adanya batasan waktu yang jelas untuk menguasai materi dari bidang study. Kadang seorang santri meng-hatam-kan satu kitab sampai tiga, empat kali. Apa ini tidak termasuk Tasarruf al-wakt. Juga kurang adanya pemilahan mana materi-materi yang masih perlu dipelajari dan mana yang tidak. Jangan sampai persoalan yang saat ini sudah tidak terjadi (seperti perbudakan, dll) tetap diajarkan di pesantren.

________________
* Alumni Pesantren “Madrasatul Qur’an” Tebuireng yang sekarang nyantri di Pesantren Sunan Drajat Banjaranya Paciran Lamongan.

Saling Silang Dunia Mahasiswa Plus Dunia Santri

SALING SILANG
DUNIA MAHASISWA PLUS DUNIA SANTRI
Oleh : Zainul Musthofa Rs


Pergolakan dunia akademis mengalami dilematika yang cukup tajam,
Sebagai santri mereka dituntut berfikir sistimatis, dogmatis dan
idealis. Sedangkan sebagai mahasiswa mereka justru dituntut
berfikir sistimatis, methodologis dan idealis.


Berbicara mengenai dunia mahasiswa plus dunia santri merupakan suatu pembicaraan yang cukup klasik, tetapi menarik dan simpatik, apalagi persoalan ini dikaitkan dengan persoalan actual yang menyangkut isu-isu kenegaraan. social, politik dan budaya. Kedua dunia ini banyak memegang peranan penting dalam kehidupan kemasyarakatan maupun bernegara. Ini terbukti dengan banyaknya para birokrat yang backround pendidikannya adalah Pesantren atau University. Disatu sisi muncul tokoh dari kalangan pesantren semisal Abdurrahman Wahid, Sahal Mahfudz disisi lain dari kalangan Universitas muncul Amin Rais, Akbar Tanjung. Ada yang muncul dari kalangan keduanya seperti Nurchalis Majid dan beberapa tokoh lainnya.

Dalam sistem pengajaran, Pesantren dan Perguruan Tinggi juga mengakami perbedaan. Pesantren (klasik) lebih cenderung dogmatis dalam setiap penyampaian materi, sehingga terkesan stagnan (mandek), tidak berani mengkritisi apa yang disampaikan oleh seorang Kyai karena takut Kuwalat. Pergutuan Tinggi lebih menekankan proses dialogis, methodologis. diberi keleluasaan untuk berpikir bebas, tidak terikat dengan madzhab-madzhab tertentu sehingga daya analisis dan kritis lebih tampak.

Karenanya kedua system ini harus saling melengkapi (take and give). Kelemahan berfikir dogmatis secara Pesantren harus diimbangi dengan daya kritis yang dikemabangkan di Perguruan Tinggi. Kebebasan berfikir model perguruan tinggi yang kadang tidak bermoral harus diimbangi dengan etika yang dikembangkan di Pesantren. Dengan demikian maka produk dari mahasiswa plus santri itu akan lebih dapat menjamin masa depan.

Awal mula munculnya dua institusi ini dilatar belakangi oleh sejarah yang sangat panjang terkait dengan munculnya sistem mendidikan Islam di Nusantara sebelum sistem ini di marginalisasi oleh Hindia Belanda dan diganti dengan system pendidikan yang notabene produk imperialis. Andai Indonesia tidak pernah mengalami penjajahan, Perguruan Tinggi yang berkembang di Indonesia ini tidak seperti Unibraw, Unair, UI, UGM. Tetapi mungkin Sunan Drajat University, Tebuireng University, Denanyar University. Ini bisa dilihat dalam tradisi perguruan tinggi yang berkembang dibarat seperti Harvard, Cornell, McGill University, yang kebanyakan lahir dari kalangan ilmuan yang menggelinding semisal Pesantren.

Dalam sejarah tercarat beberapa perguruan tinggi Islam yang sangat terkenal seperti Universitas Granada, Cordova, Sevilla, Malaga dan Salamanca. Perguruan Tinggi dijadikan pilihan bagi pelajar-pelajar eropa yang ingin memperdalam berbagai disiplin keilmuan. Mereka juga banyak melakukan penerjemahan-penerjemahan terhadap karya-karya ilmuan muslim untuk dipelajari dan dipraktekkan di negara mereka.

Buku al-Jabar yang dikarang oleh al-Khawarijmi pada tahum 825 M, dijadikan buku standar di eropa beberapa abad lamanya. Ia juga menulis buku tentang perhitungan biasa (Arirhmatics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan desimal dieropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Dalam lapangan kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Razi (Rhazas) mengarang suatu ensiklopedia ilmu kedokteran dengan judul “Continens”, Ibnu Sina menulis buku “Qonun”. Ibnu Rusdy menulis buku “Kulliyah fi al-Tibb” yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk bahasa Inggris menjadi “The General Rule of Medice”. Buku-buku ini menjadi pegangan dalam ilmu kedokteran di Eropa.

Oleh karenanya ketekaitan antara keduanya tidak dapat terelakkan dan jangan sampai terjadi dekotomi antara keduanya (pendidikan Islam dan Umum). Isu-isu yang muncul semisal Demokratisasi, Gender, Hak Asasi Manusia (HAM), Sistem perekonomian, semuanya juga menjadi kajian keislaman, tinggal bagaimana kita mampu menginterpretasikan dan mengaktualisasikan konsep-konsep keislaman (Al Qur an maupun Hadist) dalam realitas kehidupan kontemporer, sehingga ajaran-ajaran Islam tetap Rahmatan Lil Alamin.

Demikian semoga bermanfaat



________________________

* Penulis adalah Alumni IKAHA Tebuireng Jombang yang alumni dari Program S 2 (Pasca Sarjana) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.