Senin, 02 Maret 2009

AKTUALISASI KONSEP ASWAJA (Telaah Kritis Aspek Kesejarahan)

AKTUALISASI KONSEP ASWAJA
(Telaah Kritis Aspek Kesejarahan) *
Oleh : Zainul Musthafa RS **

Dalam sejarah pemikiran Islam, term Ahlus Sunah Wal Jama’ah (Aswaja), muncul secara lebih popular setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w.936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944) mengajukan kalamnya yang antitetis terhadap-pikiran-pikiran Mu’tazilah. Pemikiran-pemikiran teologi kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran-pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berfikir rasional ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisionalis, dengan tetap berpegang pada sunnah Nabi Muhammad SAW.
Meski terjadi pada era Asy’ari dan al-Maturidi, namun embrio dari aliran ini sudah disinyalir oleh Rasul seperti dalam riwayat Imam Tirmizi, Ibn Majah dan Abu Daud bahwa: Bani Israil akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani akan terpecah menjadi 72 dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Kemudian para shahabat tanya: Siapa mereka itu wahai Rasulullah ? Lalu Rasul menjawab: Mereka itu adalah ma ana alaihi al-yauma wa ashabi.
Memahami hadish diatas maka akan terjadi tarik menarik antara beberapa golongan yang muncul ke permukaan tentang siapa yang dimaksud satu golongan yang selamat dalam hadish diatas. Karena tidak ada penjelasan dari Nabi tentang siapa yang dimaksud dengan ma ana alaihi al-yauma wa ashabi, maka kita harus berani mengatakan bahwa Aswaja (dalam alam Indonesia), tidak hanya milik NU, tetapi juga milik Muhammadiyah, persis, syiah dll. Kalau kita menganggap kebenaran tersebut hanya milik NU, maka implikasinya golongan-golongan di luar NU akan masuk neraka. Apakah kita berani mengatakan semacam pendapat seperti itu ? tentu tidak kan.
Istilah aswaja muncul sudah begitu lama sehingga tidak ada di antara ulama-ulama (Indonesia) yang mencoba mengkaji secara serius tentang konsep ini. Baru setelah kehadiran intelektual muda NU yang bernama Said Agil Siraj (sekarang menjadi salah seorang pengurus PBNU) setelah mengenyam pendidikan di timur tengah, diskusi ini marak kembali. Dalam beberapa diskusi terutama dengan generasi muda NU, Agil banyak melontarkan gugatan-gugatan yang selama ini jarang terlintas dalam pikiran ulama-ulama sebelumnya.
Pada mulanya, perbincangan hanya seputar pertanyaan, mengapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual umat ? Biasanya dimulai dengan pertanyaan besar: limadha ta’akhara al-muslimun wa taqaddama al-akhraun ? Diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai pada kesimpulan bahwa kemandekan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah paham Aswaja secara qaulan. Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (manhaj al-fikr), seberapa jauh ini akan membantu membuka wacana intelektualitas ditubuh NU ? Yakni cara berfikir yang memegang prinsip tawashuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan).
Dalam system ke-aswaja-an versi NU sangat jelas bahwa dalam bermadhhab, kita mengikuti salah satu dari empat madhhab tetapi dalam kenyataannnya kita selalu merujuk kepada satu imam (Syafi’i) bahkan kadang-kadang sampai menafikan madhhab-madhhab yang lain meski itu yang lebih applicable. Dalam beberapa kasus, bahsul masa’il NU selalu menggunakan kitab yang dinilai mu’tabarah (kitab yang sudah diakui kesunniannya) kalau ghairu mu’tabarah maka tidak diterima.
Kita harus ingat tidak semua masalah terutama di Indonesia ini bisa diselesaikan dengan hanya mengacu kepada pendapat Syafi’i an sich, contoh Nikah tanpa wali, transaksi jual beli, halal bi halal dll, tanpa sadar kita selalu pakai imam lain (selain Syafi’i), itu kita kakukan yang kadang-kadang tanpa kita sadari.
Dalam bertasawuf kita ikut kepada Junaid al-Baghdadi yang lebih condong ke arah ittihad (penyatuan diri kepada Tuhan). Dengan pernyataannya: Awwalu maa iftaradhallahu ala ibadihi ma’rifatullah, wa awwalu ma’rifatihi tauhidulu wa awwalu tauhidihi bi bafyi sifatihi anhu. Begitu pula al-Ghazali kalau kita analisis lebih mengidolakan al-Hallaj dalam bertauhid. Kalau demikian halnya mungkinkah pendapat-pendapat tersebut bertemu dengan tauhidnya al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Oleh karena itu, menurut saya Aswaja itu hanyalah suatu manhaj al-fikr atau faham saja yang didalamnya masih memungkinkan memuat banyak aliran dan madhhab. Faham tersebut bersifat lentur, fleksibel, moderat. Hal ini tercermin dari sikap sunni yang selalu mengambil jalan tengah. Ia tidak mendahulukan akal dari pada nash, namun juga tidak mengkebiri akal. Faham ini meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang aqidah, syari’ah, mu’amalah, akhlaq, sosio-politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Kita harus berani mengaktualisasi kembali ajaran-ajaran aswaja agar supaya rangsangan untuk berfikir bebas, kritis dan sistematis bisa muncul (asal masih dalam batas kewajaran dan dalam norma kesopanan).

Demikian semoga bermanfaat.

___________________________

* Disampaikan dalam seminar dengan tema “reaktualisasi ajaran aswaja” yang diadakan oleh PATMA (Persatuan alumni Mts Tanwirul Ma’arif dan IPNU-IPPNU Takerharjo Solokuro Lamongan. 4 Mei 2007.

** Penulis adalah alumni IKAHA Tebuireng yang sekarang sedang menyeleseikan Program S2 (Pasca Sarjana) di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar