Senin, 02 Maret 2009

Pandangan Al-Qur'an Terhadap Teori Epistemologi (Belajar Dari Filsafat Ibrahim Dalam Mencari Kebenaran

PANDANGAN AL QUR AN TERHADAP TEORI EPISTEMOLOGI
( Belajar dari Filsafat Ibrahim dalam mencari kebenaran )

Oleh : Zainul Musthofa RS *


A. Pengantar

Ada tiga unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pembahasan filsafat Islam yaitu eksistensi Tuhan, Alam dan Manusia. Dari tiga unsur ini ahirnya lahir pengetahuan. Ketika manusia melihat fenomena alam kemudian menemukan pengetahuan di dalamnya maka orang tersebut menggunkan teori Empiris. Tetapi ketika dia memakai akal pikiran setelah tahu informasi dibalik apa yang dilihat maka orang tersebut menggunakan teori Rasional. Ketika menusia memadukan antara konsep dan realita, antara pernyataan dengan kenyataan maka dia menggunakan teori Kritis.
Islam memandang tidak cukup kalau filsafat pengetahuan hanya didasarkan pada tiga hal diatas. Ada unsur penting yang harus ada dalam filsafat Islam dan itu mempunyai implikasi yang sangat besar bagi kehidupan manusia yaitu proses konsultasi langsung kepada Tuhan. Ini yang disebut dengan pengetahuan Intuisi.
Belajar dari kasus Ibrahim yang memulai filsafatnya dengan proses Empiris, Rasional dan Kritis. Pada saat ketiga hal ini tidak mampu menjawab keraguan dari konsep pengetahuan dia, maka yang dilakukan Ibrahim adalah meminta penjelasan langsung kepada Dzat yang ada dibalik fenomena alam yaitu Allah SWT.

Teori Epistemologi
Dalam Filsafat barat kita mengenal adanya beberapa teori yang menjelaskan tentang proses pencapaian ilmu pengetahuan (kebenaran) yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang tertera dalam Al Qur an. Cuma ada beberapa hal yang perlu kita kompromikan agar pemahaman kita tidak mengalami kesalahan. Dalam Al Qur an (Islam) juga ada satu unsur yang sulit untuk ditinggalkan dan ini sangat menentukan bagi kebenaran suatu ilmu yaitu Intuisi (ilham). Teori-teori tersebut adalah : Empirisme, Rasionalisme, Kritisme.

Teori Empirisme
Aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap panca indera.[1] Jadi ketika kita mengindera sesuatu maka kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi kita. Tokoh filsafat ini adalah John Locke. Ia muncul ketika konsep-konsep Descrates tentang ide-ide fitri sedang berkembang. Ia berusaha mengembalikan segala konsepsi dan ide kepada indera. Teori ini mampu menggugurkan teori ide fitri yang dikembangkan filosof sebelumnya. Belakangan, teori ini tersebar luas dikalangan filosof-filosof Eropa.

Teori Rasionalisme
Aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan menusia adalah pikiran, rasio, jiwa manusia.[2] Teori ini dikemukakan oleh para filosof Eropa diantaranya: Descartes (1596 - 1650) [3] dan Immanuel Kant [4] (1724 - 1804), dan lain-lain.
Teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Pertama, Penginderaan. Kita mengkonsepsi panas, suara, cahaya, karena kenginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, adalah Fitrah dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah.

Teori Kritisisme
Aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar, juga dari dalam jiwa atau pikiran manusia.Teori ini mencoba untuk memadukan antara kebenaran yang diterima oleh indera manusia (kebenaran empiris) kemudian dikaji munurut pendekatan akal (rasio).

Pandangan Al Qur an terhadap Teori Epistimologi
(Belajar dari kasus Ibrahim)

Berangkat dari persepsi yang sangat sederhana “Pentingnya Tuhan dalam memperolih pengetahuan” maka saya mencoba memposisikan epistemologi dalam perspektif Al Qur an dengan mengambil kasus yang menimpa Ibrahim ketika mencari pengetahuan. Ini dipandang penting mengingat dalam filsafat barat, unsur ini tidak terlalu diperhatikan.
Balajar dari kasus pendidikan filsafat nabi Ibrahim ketika mengalami kebimbangan terhadap sumber pengetahuan yang dihasilkan dari proses penginderaan terhadap fenomena alam yang pada ahirnya tidak menemukan kepuasan karena apa yang diindera dengan apa yang ada dalam konsep (rasio) tidak terjadi kesesuaian (bertentangan). Apa yang dialami Ibrohim, menyebabkan ia menyerahkan keputusannya kepada Dzat yang ada dibalik fenomena alam dan yang memberikan pengetahuan. Ini bisa terbaca dari runtutan informasi al-Qur’an :

Ketika malam menjadi gelap, ia melihat bintang lalu ia berkata “inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata “saya tidak suka kepada yang tenggelam”.[5]

Ayat ini menjelaskan kegundahan Ibrahim melihat kaumnya yang tetap tidak mau mengikuti ajakannya untuk menuju kebenaran yang hakiki dan tetap pada kebiasaan yang telah dilakukan nenek moyang mereka yaitu paganis. Pendidikan filsafat pertama yang diajarkan Ibrahim adalah pencarian pengetahuan dengan cara empiris, melihat fenomena Alam yang ada di sekelilingnya.
Yang menarik untuk di kaji, kenapa Tuhan memperlihatkan kepada Ibrahim dan kaumnya tanda-tanda kebesaran melalui bintang, bulan dan matahari, tidak jenis makhluk yang lain seperti sapi, unta, pohon dan sejenisnya. Ini disebabkan karena masyarakat setempat (Babylonia) di samping paganis adalah penyembah bintang, bulan dan matahari. Sehingga tepat sekali Allah kemudian memberi pelajaran dengan contoh-contoh di atas. Anjuran untuk melihat fenomena (empirics) ini juga didukung beberapa ayat Al Qur an di antaranya adalah : Surat Al Maidah 31. Ali Imran 137.
Ketika proses peng-indera-an pertama gagal kerena persepsi awal yaitu “Tuhan Bintang” dengan realitas “Tenggelamnya Bintang” tidak terjadi kesesuaian (Correspondence)[6] sehingga muncul pertanyaan “Masak sih Tuhan bisa hilang”. Ini menyebabkan proses menemukan pengetahuan tentang kebenaran Tuhan mengalami kegagalan. Maka Allah kemudian memberikan tanda yang lain yang lebih terang yaitu Bulan.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata “inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, maka ia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.

Ternyata bulan yang dianggap sebagai Tuhan juga mengalami hal yang sama (tenggelam), Ibrahim yang asalnya sangat yakin bahwa itu Tuhan mengalami kebimbangan lagi, sehingga ia mengatakan: kalau sekiranya Tuhan tidak segera memberikan petunjuknya, pastilah aku menjadi orang-orang yang sesat. Ini merupakan kegagalan indera manusia untuk mengartikan suatu fenomena.
Dari sini tampak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh Ibrahim dalam mencari kebenaran tidak hanya menggunakan pendekatan Empiris saja, ada unsur lain yang digunakan Ibrahim sebelum mengambil kesimpulan yaitu Rasio. Ketika Indera manusia gagal menangkap fenomena, maka yang bekerja selanjutnya adalah akal.
Jadi pengetahuan inderawi bukan satu-satunya pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk memperoleh kebenaran, sebab pada bagian lain Islam juga menyebutkan perlunya untuk menggunakan rasio. Kita bisa melihat dalam beberapa ayat al Qur an yang menjelaskan hal ini di antaranya surat al-Nahl 10-11, Surat al-Maidah 97, Surat Saba’ 46.

Ayat selanjutnya adalah :

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar, maka tatkala matahari itu tenggelam, ia berkata: hai kaumku sesungguhnya aku berlepas dari apa yang kamu sekutukan.[7]

Ketika Ibrahim diberi tanda yang ketiga (matahari), dan Ibrahim tetap tidak mendapatkan kepuasan. Maka di sinilah pentingnya sikap kritis sebelum mengambil keputusan akhir. Sikap kritis sangat diperlukan untuk mengetahui benar tidaknya suatu pengetahuan.
Ketika informasi empiris diterima kemudian dikelola oleh akal (rasio) untuk menentukan apakah informasi pengetahuan itu benar atau tidak, maka proses kritis sangat menentukan. Obyektifitas akal pikiran sangat diperlukan untuk menimbang kebenaran informasi antara fakta dan realita, antara pernyataan dan kenyataan. Ini dapat dimengerti agar validitas kebenaran tetap terjaga. Al Qur an juga menganggap penting tentang hal ini, dan kita bisa lihat dalam beberapa ayat Al Qur an seperti dalam surat az-Zumar 18 dan Surat Isra’ 36.

“Sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.[8]

Dari ayat ini jelas sekali, bahwa proses Kritis sangat menentukan sekali dalam mencari kebenaran. ketika seseorang mendengarkan suatu pendapat (berarti ini adalah proses penginderaan) dengan menggunakan telingannya, kemudian mau mengikuti apa yang paling baik, ini sudah merupakan suatu proses Kritis. Kata-kata “Ahsanah” dalam ayat tersebut merupakan cerminan dari sikap kritis. Ini merupakan proses yang paling ahir dari proses-proses sebelumnya yaitu penginderaan (Empiris) dan berfikir (Rasional).

Ayat yang terahir adalah :

Sesungguhnya aku menghapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama-agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.[9]

Pendidikan filsafat terahir yang diterima dari nabi Ibrahim adalah pengembalian segala putusan ahir kepada Tuhan (ini adalah proses Intuisi). Segala pengetahuan yang yang dihasilkan dari peng-indera-an, rasional, kritis, semuanya harus dikunsultasikan kepada Dzat yang menciptakan pancaindera, pemberi akal pikiran. Sebab apa yang dipandang baik oleh manusia belum tentu sama dengan apa yang dikehendaki Allah, demikian juga sebaliknya. Ini yang menyebabkan kenapa setiap perbuatan manusia (baik melakukan pernikahan, menentukan jodoh dll ) selalu ditanyakan kepada Tuhan baik melalui sholat Tahajjut, Istikharah atau Ubudiyah lainnya. Al Qur an banyak menjelaskan tentang hal ini, diantaranya : Surat Hud 123. Surat Luqman 34. Surat Jin 26.
Proses yang terakhir (Intuisi) inilah yang membedakan dengan filsafat yang berkembang di barat. Filsafat Barat tidak mampu merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan, tetapi mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Romawi, dan juga dari spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir evolusionisme.[10] Sehingga berbeda dengan konsep Islam, dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif, juga mengakui paradigma transendental, pengakuan adanya kebenaran dari Tuhan.

___________________________
* Penulis adalah Direktur FKIS (Forum Kajian Islam Sosial) Pon Pes Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan.
[1] Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), 97
[2] Ibid
[3] Rene Descartes, filosof Prancis. Descrates mengingatkan kita kepada Al-Ghozali yang dalam mencari pengetahuan tertentu, memulai dengan meragukan segala sesuatu, karena ragu adalah satu bentuk berfikir. Lalu ia mencapai pengetahuan bahwa Tuhan ada karena kepastian pengetahuannya tentang dirinya.
[4] Immanuel Kant adalah seorang filosof Jerman. Posisi Kant merupakan sintesis rasionalisme dan empirisme masa itu.
[5] Al Qur an, 6: 76
[6] Teori Correspendence mengatakan bahwa kebenaran itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya. (Louis Kattsoff, Unsur-unsur filsafat, Terj S. Sumargono, Yogyakarta, tt. 246-267) Dengan demikian maka kebenaran adalah Truth, then, Would be defined as fidelity to obyektive reality: Kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas obyektif. (George Thomas White Patrick, Introduntion to philosophy, London, 1958), 373-374. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa teori correspondence tentang kebenaran memuat dua hal. Pertama adlah pernyataan dan yang kedua adalah kenyataan. Ketika Pernyataan dan Kenyataan terjadi kesesuaian maka itu yang dinamakan benar.
[7] Al Qur an 6: 78
[8] Al Qur an 39 : 17-18.
[9] Al Qur an 6: 79
[10] C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor, 1989), 3.

1 komentar:

  1. dafabet | Thauberbet
    dafabet dafabet is an online sports betting platform operated by Sportbet. We provide ミスティーノ our users with the best odds and offers possible for punters. rb88

    BalasHapus